BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diskusi
seputar nasionalisme menemukan urgensinya ketika gejala disintegrasi muncul
dimana-mana. Keinginan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) diperlihatkan oleh sebagian masyarakat yang kecewa terhadap
NKRI. Kondisi demikian diperparah dengan tidak adanya identitas kebangsaan yang
disepakati oleh semua pihak. Lebih jauh, kebangsaan itu sendiri masih
diperselisihkan maknanya. Dengan demikian merupakan suatu hal yang mendesak
bahasan tentang kebangsaan dan kaitannya dengan NKRI yang berbentuk
negara-bangsa (nation-state).
Daniel
Dhakidae (2002:xiii), dalam pengantar buku Imagined Communities, menyatakan
merupakan suatu hal yang ironis bahwa tritunggal suci bangsa Indonesi – bahasa,
bangsa, dan tanah air – semakin kabur maknanya dan ketiganya terlihat dalam
posisi berhadapan. Satu bahasa tidak dengan sendirinya meniscayakan Indonesia
menjadi satu bangsa. Riau, tempat asal bahasa Melayu yang menjadi bahasa
Indonesia, sering ditimpa isu-isu disintegrasi. Bahasa Indonesia yang dimiliki
bangsa ini lebih sering digunakan dalam bentuknya yang tidak tepat. Bahkan satu
tanah air tidak berarti menjadi satu bangsa. Aceh, Papua, dan Timor-Timur
adalah contoh dari hal ini dalam pengertian dan tingkatan yang berbeda.
Sebagai
negara yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, perbincangan tentang
hubungan antara Islam dan nasionalisme dalam konteks Indonesia sama tuanya
dengan usia kemerdekaan itu sendiri. Perbincangan yang sudah dimulai sebelum
Indonesia diproklamasikan sebagai sebuah negara yang merdeka.
Sebagian
komunitas muslim menilai tidak ada pertentangan antara Islam dan nasionalisme.
Namun tidak sedikit pula yang menilai bahwa Islam dan nasionalisme tidak dapat
berdampingan sebagai ideologi dan keyakinan. Dalam menjelaskan hubungan antara
Islam dan nasionalisme, Hasan al-Banna, seorang tokoh pergerakan Islam,
memaparkan bahwa apabila yang dimaksud dengan nasionalisme adalah kerinduan
atau keberpihakan terhadap tanah air, keharusan berjuang membebaskan tanah air
dari penjajahan, ikatan kekeluargaan antar masyarakat, dan pembebasan
negeri-negeri lain maka nasionalisme dalam makna demikian dapat diterima dan
bahkan dalam kondisi tertentu dianggap sebagai kewajiban (Dault, 2005:xvii).
Makalah
ini ditulis untuk menjelaskan sejarah dan pengertian nasionalisme serta
kaitannya dengan konteks Indonesia. Disamping itu, perspektif Islam – yang
diwakili beberapa pandangan tokoh muslim – juga disertakan mengingat Indonesia
adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah
dalam makalah ini adalah bagaimana pandangan Islam tentang nasionalisme
terkhusus di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
C. Batasan Masalah
Dalam makalah ini lebih memfokuskan
tentang nasionalisme di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Dan Pengertian Nasionalisme
Nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti bangsa. Menurut kamus
besar bahasa Indonesia (Ali dkk., 1994:98), kata bangsa memiliki arti: (1)
kesatuan orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya
serta berpemerintahan sendiri; (2) golongan manusia, binatang, atau
tumbuh-tumbuhan yang mempunyai asal-usul yang sama dan sifat khas yang sama
atau bersamaan; dan (3) kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan
bahasa dan kebudayaan dalam arti umum, dan yang biasanya menempati wilayah
tertentu di muka bumi.
Beberapa makna kata bangsa diatas menunjukkan arti bahwa bangsa adalah
kesatuan yang timbul dari kesamaan keturunan, budaya, pemerintahan, dan tempat.
Pengertian ini berkaitan dengan arti kata suku yang dalam kamus yang sama
diartikan sebagai golongan orang-orang (keluarga) yang seturunan; golongan
bangsa sebagai bagian dari bangsa yang besar (ibid, 1994:970). Beberapa suku
atau ras dapat menjadi pembentuk sebuah bangsa dengan syarat ada kehendak untuk
bersatu yang diwujudkan dalam pembentukan pemerintahan yang ditaati bersama.
Kata bangsa mempunyai dua pengertian: pengertian antropologis –
sosiologis dan pengertian politis. Menurut pengertian antropologis –
sosiologis, bangsa adalah suatu masyarakat yang merupakan persekutuan – hidup
yang berdiri sendiri dan masing-masing anggota masyarakat tersebut merasa satu
kesatuan suku, bahasa, agama, sejarah dan adat istiadat. Pengertian ini
memungkinkan adanya beberapa bangsa dalam sebuah negara dan sebaliknya – satu
bangsa tersebar pada lebih dari satu negara. Kasus pertama terjadi pada negara
yang memiliki beragam suku bangsa, seperti Amerika Serikat yang menaungi
beragam bangsa yang berbeda. Kasus kedua adalah sebagaimana terjadi pada bangsa
Korea yang terpecah menjadi dua negara, Korea Utara dan Korea Selatan. Sementara
dalam pengertian politis, bangsa adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama
dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi
ke luar dan ke dalam. Bangsa (nation) dalam pengertian politis inilah yang
kemudian menjadi pokok pembahasan nasionalisme (Nur dalam Yatim, 2001:57-58)
Istilah nasionalisme yang telah diserap kedalam bahasa Indonesia memiliki dua pengertian: paham (ajaran) untuk
mencintai bangsa dan negara sendiri dan kesadaran keanggotaan dalam suatu
bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan,
dan mengabdikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa (Op.
cit, 1994:684).
Dengan demikian, nasionalisme berarti menyatakan keunggulan suatu
afinitas kelompok yang didasarkan atas kesamaan bahasa, budaya, dan wilayah.
Istilah nasionalis dan nasional, yang berasal dari bahasa latin yang berarti
“lahir di”, kadangkalah tumpang tindih dengan istilah yang berasal dari bahasa Yunani,
etnik. Namun istilah yang disebut terakhir ini biasanya digunakan untuk
menunjuk kepada kultur, bahasa, dan keturunan di luar konteks poltitik (riff,
1995: 193-194).
Disamping definisi bahasa diatas terdapat beberapa rumusan lain mengenai
nasionalisme, diantaranya (yatim, 2001:58) :
1.
Huszer dan Stevenson:
Nasionalisme adalah yang menentukan bangsa mempunyai
rasa cinta secara alami kepada tanah airnya.
2.
L. Stoddard:
Nasionalisme
adalah suatu keadaan jiwa dan suatu kepercayaan, yang dianut oleh sejumlah
besar individu sehingga mereka membentuk suatu kebangsaan. Nasionalisme adalah
rasa kebersamaan segolongan sebagai suatu bangsa.
3.
Hans Kohn:
Nasionalisme
menyatakan bahwa negara kebangsaan adalah cita-cita dan satu-satunya bentuk sah
dari organisasi politik, dan bahwa bangsa adalah sumber dari semua tenaga
kebudayaan kreatif dan kesejahteraan ekonomi.
Beberapa definisi diatas memberi simpulan bahwa nasionalisme adalah
kecintaan alamiah terhadap tanah air, kesadaran yang mendorong untuk membentuk
kedaulatan dan kesepakatan untuk membentuk negara berdasar kebangsaan yang
disepakati dan dijadikan sebagai pijakan pertama dan tujuan dalam menjalani
kegiatan kebudayaan dan ekonomi. Kesadaran yang mendorong sekelompok manusia
untuk menyatu dan bertindak sesuai dengan kesatuan budaya (nasionalisme) oleh
Ernest Gellner dinilai bukanlah kebangkitan kesadaran diri suatu bangsa namun
ia adalah pembikinan bangsa-bangsa yang sebenarnya tidak ada (Gellner Dalam
Anderson, 2002:9).
Dengan gaya berpikir Antropologis, Anderson (2002:8-11) menawarkan
pandangan yang lebih positif tentang nasionalisme, ia menyatakan bahwa bangsa
atau nation adalah komunitas politis dan dibayangkan (imagined) sebagai sesuatu
yang bersifat terbatas secara intern sekaligus berkedaulatan. Lebih jauh dia
memaparkan bahwa bangsa disebut komunitas karena ia sendiri selalu dipahami
sebagai kesetiakawanan yang masuk – mendalam dan melebar – mendatar, sekalipun
ketidakadilan dan penghisapan hampir selalu ada dalam setiap bangsa. Bangsa
disebut sebagai komunitas terbayang (imaged community) karena para anggota
bangsa terkecil tidak mengenal sebagian besar anggota lain, bahkan mungkin tidak
pernah mendengar tentang mereka. Ia dibayangkan sebagai sesuatu yang terbatas
karena bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun memiliki garis-garis batas
yang pasti dan jelas meski terkadang bersifat elastis. Diluar garis batas itu
adalah bangsa lain yang berbeda dengan mereka.
Dalam sejarah, nasionalisme bermula dari benua Eropa sekitar abad
pertengahan. Kesadaran berbangsa – dalam pengertian nation – state – dipicu
oleh gerakan Reformasi Protestan yang dipelopori oleh Martin Luther di Jerman
(Dault, 2005:4). Saat itu, Luther yang
menentang gereja Katolik Roma menerjemahkan Perjanjian Baru kedalam bahasa
Jerman dengan menggunakan gaya bahasa yang memukau dan kemudian merangsang rasa
kebangsaan Jerman. Terjemahan Injil membuka luas penafsiran pribadi yang
sebelumnya merupakan hak eksklusif bagi mereka yang menguasai bahasa Latin,
seperti para pastor, uskup, dan cardinal. Implikasi yang sedikit demi sedikit
muncul adalah kesadaran tentang bangsa dan kebangsaan yang memiliki identitas
sendiri. Bahasa Jerman yang digunakan Luther untuk menerjemahkan Injil
mengurangi dan secara bertahap menghilangkan pengaruh bahasa Latin yang saat
itu merupakan bahasa ilmiah dari kesadaran masyarakat Jerman. Mesin cetak
penyebaran kesadaran bangsa dan kebangsaan. Hal ini penting dicatat mengingat
pada sekitar tahun yang sama (1518-1521) Majapahit mengalami kehancuran yang
disebabkan oleh pemberontakan daerah-daerah dan kemerosotan internal kerajaan.
Majapahit pada masanya merupakan kerajaan besar yang menguasai sebagian besar
wilayah yang saat itu disebut nusantara. Namun kebesaran ini tidak memunculkan
kesadaran berbangsa, dalam arti modern. Hal itu disebabkan tidak adanya alat
percetakan yang mengakselerasi penyadaran massal seperti yang terjadi di
Jerman.
Namun demikian, nasionalisme Eropa yang pada kelahirannya menghasilkan
deklarasi hak-hak manusia berubah menjadi kebijakan yang didasarkan atas
kekuatan dan self interest dan bukan atas kemanusiaan (Rasyidi dalam Yatim,
2001:63). Dalam perkembangannya nasionalisme Eropa berpindah haluan menjadi
persaingan fanatisme nasional antar bangsa-bangsa Eropa yang melahirkan
penjajahan terhadap negeri-negeri yang saat itu belum memiliki identitas
kebangsaan (nasionalisme) di benua Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Fakta ini
merujuk pada dua hal: (1) ledakan ekonomi Eropa pada masa itu yang berakibat
pada melimpahnya hasil produksi dan (2) pandangan pemikir Italia, Nicolo
Machiaveli yang menganjurkan seorang penguasa untuk melakukan apapun demi
menjaga eksistensi kekuasaannya. Dia menulis
“bila ini
merupakan masalah yang mutlak mengenai kesejahteraan bangsa kita, maka
janganlah kita menghiraukan keadilan atau ketidakadilan, kerahiman dan
ketidakrahiman, pujian atau penghinaan, akan tetapi dengan menyisihkan semuanya
menggunakan siasat apa saja yang menyelamatkan dan memelihara hidup negara kita
itu” (Kohn dalam Yatim, 2001:65).
Nasionalisme yang pada awalnya mementingkan hak-hak asasi manusia pada
tahap selanjutnya menganggap kekuasaan kolektif yang terwujud dalam negara
lebih penting daripada kemerdekaan individual. Pandangan yang menjadikan negara
sebagai pusat merupakan pandangan beberapa pemikir Eropa saat itu, diantaranya
Hegel. Dia berpendapat bahwa kepentingan negara didahulukan dalam hubungan
negara-masyarakat, karena ia merupakan kepentingan obyektif sementara
kepentingan masing-masing individu adalah kepentingan subyektif. Negara adalah
ideal (geist) yang diobyektifikasi, dan karenanya, individu hanya dapat menjadi
sesuatu yang obyektif melalui keanggotaannya dalam negara. Lebih jauh dia
menyatakan bahwa negara memegang monopoli untuk menentukan apa yang benar dan
salah mengenai hakikat negara, menentukan apa yang moral dan yang bukan moral,
serta apa yang baik dan apa yang destruktif (Simandjuntak, 2003:166). Hal ini
melahirkan kecenderungan nasionalisme yang terlalu mementingkan tanah air
(patriotisme yang mengarah pada chauvinisme), yang mendorong masyarakat Eropa
melakukan ekspansi-ekspansi ke wilayah dunia lain. Absolutisme negara dihadapan
rakyat memungkinkan adanya pemimpin totaliter, yang merupakan bentuk ideal
negara yang di citakan Hegel, sebuah monarki (ibid, 2003:224). Totaliterianisme
yang dianjurkan oleh filsafat negara Hegel dapat menggiring sebuah pemerintahan
menjadi pemerintahan yang fasis. Fasisme adalah doktrin yang mengajarkan
kepatuhan mutlak terhadap perintah dalam semua aspek kehidupan nasional. Dalam
sejarahnya, fasisme terkait erat dengan rasisme yang mengunggulkan sebagian ras
(suku) atas sebagian yang lain.
Menurut Hugh Purcell (2000:11) nasionalisme dan rasisme merupakan
gambaran paling terkenal dari fasisme pada tahun 1930-an. Rasisme memiliki
kaitan erat dengan nasionalisme. Keduanya berbeda pada penekanan. Rasisme
menekankan superioritas suku dan nasionalisme menekankan keunggulan bangsa
(komunitas terbayang yang lebih besar dari suku). Manusia nasionalis adalah
seseorang dengan kebanggaan terhadap bangsanya yang kadang diungkapkan dengan
cara berlebihan. Nasionalisme dan rasisme memiliki keserupaan dalam hal
pengunggulan dan kebanggaan terhadap sesuatu yang secara alamiah melekat pada
setiap manusia. Yang pertama kebanggaan terhadap bangsa - sistem pemerintahan,
suku, dan budaya. Yang kedua kebanggaan terhadap suku.
Di Indonesia, nasionalisme melahirkan Pancasila sebagai ideologi negara.
Perumusan Pancasila sebagai ideologi negara terjadi dalam BPUPKI (Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Di dalam badan inilah
Soekarno mencetuskan ide yang merupakan perkembangan dari pemikirannya tentang
persatuan tiga aliran besar: Nasionalisme, Islam, dan Marxis. Pemahamannya
tentang tiga hal ini berbeda dengan pemahaman orang lain yang mengandaikan
ketiganya tidak dapat disatukan. Dalam sebuah artikel yang ditulisnya dia
menyatakan, “Saya tetap nasionalis, tetap Islam, tetap Marxis, sintese dari
tiga hal inilah memenuhi saya punya dada. Satu sintese yang menurut anggapan
saya sendiri adalah sintese yang geweldig (Soekarno dalam Yatim, 2001:155).
Dalam artikel itu, dia juga menjelaskan bahwa Islam telah menebalkan rasa dan
haluan nasionalisme. Cita-cita Islam untuk mewujudkan persaudaraan umat manusia
dinilai Soekarno tidak bertentangan dengan konsep nasionalismenya. Dan sesuai
dengan konsep Islam, dia menolak bentuk nasionalisme yang sempit dan mengarah
pada chauvinisme. Dia menambahkan, Islam juga tidak bertentangan dengan
Marxisme, karena Marxisme hanya satu metode untuk memecahkan
persoalan-persoalan ekonomi, sejarah, dan sosial.
Soekarno menghendaki agar dalam negara Indonesia agama dan negara
dipisahkan. Pemisahan itu tidak berarti menghilangkan kemungkinan untuk
memberlakukan hukum-hukum Islam dalam negara, karena bila anggota Parlemen
sebagian besar orang-orang yang berjiwa Islam, mereka dapat mengusulkan dan
memasukkan peraturan agama dalam undang-undang negara. Itulah cita ideal negara
Islam menurut Soekarno (ibid, 2001:156). Dengan dasar pemikiran itulah,
Soekarno mengusulkan lima asas untuk negara Indonesia merdeka. Kelima asas itu
adalah: (1) Kebangsaan Indonesia, (2) Internasionalisme atau peri kemanusiaan,
(3) Mufakat atau demokrasi, (4) Kesejahteraan sosial, dan (5) Ketuhanan. Usulan
ini menimbulkan perbedaan pendapat antara nasionalis sekuler dan nasionalis
Islam dan mendorong pembentukan sub panitia yang terdiri dari empat orang wakil
nasionalis sekuler dan empat orang wakil nasionalis Islam serta Soekarno
sebagai ketua sekaligus penengah. Pertemuan sub panitia ini menghasilkan
rumusan yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta. Usulan Soekarno menjadi
inti dari Piagam Jakarta dengan beberapa perubahan: urutan kelima sila dan
penambahan anak kalimat pada sila ketuhanan. Tambahan anak kalimat yang
kemudian diperdebatkan itu adalah “Dengan kewajiban melaksanakan Syari’at Islam
bagi pemeluk-pemeluknya”. Pada saat itu, Soekarno dan Agus Salim berusaha
mengakhiri diskusi tentang Piagam Jakarta dalam bentuk yang telah disepakati
bersama. Namun setelah Jepang mengalami kekalahan dan BPUPKI ditingkatkan
stasusnya menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), beberapa
anggota BPUPKI - khususnya dari kalangan Islam - yang aktif dan bersuara
lantang tidak muncul dalam PPKI. Kondisi tersebut memberi kesempatan kepada
para nasionalis sekuler untuk merubah Piagam Jakarta yang merupakan hasil
keputusan BPUPKI. Usaha yang dilakukan untuk meyakinkan pihak nasionalis Islam
bahwa hanya konstitusi sekuler yang bisa diterima mayoritas rakyat berhasil.
Akhirnya anak kalimat yang tercantum dalam Piagam Jakarta diubah menjadi
“Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang kemudian menjadi bentuk akhir Pancasila - dasar
bagi nasionalisme Indonesia yang sekuler religius.
B. Nasionalisme Dalam Perspektif Islam
Islam
bagi pemeluknya bukan saja menjadi agama - dalam pengertian studi Barat - namun
ia juga sistem yang melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam bukunya,
Marcel Boisard (1980:183) menilai bahwa universalitas Islam sebagai agama dan
sistem sosial dapat dibuktikan dari empat segi: segi metafisik, segi agama,
segi sosiologis, dan segi politik. Sebagai keimanan terhadap keesaan Tuhan yang
dituangkan dalam keyakinan yang sangat kuat, Islam adalah ideologi universal
yang tidak bisa disamakan dengan ideologi dan agama apapun. Di samping aspek
fundamental ini, konsepsi Islam tentang manusia membantu kepada universalitas
manusia. Manusia adalah makhluk merdeka dan bertanggung jawab. Namun, dia tidak
terpencil karena dia hidup di lingkungan sosial dan dia akan menerima akibat
dari setiap perbuatannya. Konsepsi ganda Islam tentang individu sesuai dengan
konsep universalitas yang diterima oleh filsafat Barat modern. Islam juga
mengajarkan universalitas moral. Merupakan fakta yang tidak diragukan bahwa
ajaran Islam dapat memasuki dan berkembang di daerah geografis dan lingkungan
kultural yang berbeda-beda. Wahyu Ilahi ditujukan kepada semua manusia agar
mereka memeluk Islam dan ditujukan - pada tingkat lain - secara khusus kepada
kaum beriman untuk mematuhi aturan-aturannya. Mematuhi ajaran yang diberikan
oleh Nabi Muhammad saw. berarti memutuskan hubungan dengan orde sosial kesukuan
dan mengidentifikasikan dirinya dengan kesatuan baru (Dault, 2005:160). Namun
afiliasi dan loyalitas kepada komunitas yang berdasarkan keimanan tidak berarti
bahwa Islam melarang ikatan-ikatan lain selain ikatan berdasar keimanan.
Alih-alih, Islam menganjurkan bentuk-bentuk ikatan lain, seperti ikatan
keluarga, selama tidak bertentangan dengan Islam (Umari dalam Dault, 2005:162).
Studi
tentang hubungan Islam dan nasionalisme bermula dari kawasan Timur Tengah.
Seperti di Indonesia, sejumlah pelajar Timur Tengah yang belajar di Eropa
kembali dengan membawa konsep nasionalisme yang dipelajari di Barat. Konsep
Barat tentang patria (tanah air) memengaruhi kata wathan dalam bahasa Arab
dengan memberi pengertian politik padanya. Mereka percaya bahwa kemajuan yang
dicapai Eropa dipengaruhi oleh kuatnya patriotisme individu dan masyarakat
terhadap negara. Hal ini tergambar dari pernyataan Al-Tahtawi, seorang
teoritisi nasionalisme Arab berpengaruh, bahwa “Patriotisme adalah sumber
kemajuan dan kekuatan, sarana untuk mengatasi jarak antara wilayah Islam dengan
Eropa” (Azra dalam Dault, 2005:186). Perkembangan pemikiran nasionalisme sekuler
berdampak pada tatanan politik umat Islam. Bentuk negara-bangsa - yang diadopsi
dari Barat - dijadikan sebagai satu-satunya bentuk pemerintahan yang sah dalam
pergaulan internasional. Kenyataan ini berdampak pada terpecah-belahnya dunia
Islam menjadi banyak negara-bangsa yang tidak lagi berdasar pada ajaran Islam
yang baku. Basis material negara-bangsa yang hanya berpatok pada etnisitas,
kultur, bahasa, dan wilayah dan mengabaikan kategori religius (keimanan).
Absennya
keimanan dari rumusan nasionalisme menimbulkan kritik dari sebagian tokoh
Islam. Mereka meyakini bahwa hal ini menyebabkan lemahnya kesatuan dunia Islam.
Ali Muhammad Naqvi, misalnya, menyatakan bahwa Islam tidak sesuai dengan
nasionalisme karena keduanya berlawanan secara ideologis. Kriteria nasional
sebagai basis bangunan komunitas ditolak Al-Quran, karena ia hanya bersifat
nasional-lokal sementara Islam mempunyai tujuan universal. Alasan lain adalah
spirit sekuler dalam nasionalisme yang menghendaki pemisahan tegas antara agama
dan politik (Naqvi dalam Dault, 2005:188).
Kritik
yang dilontarkan memosisikan Islam vis a vis nasionalisme. Namun dalam konteks
Indonesia, sila-sila dalam Pancasila - sebagai ideologi negara - tidak satupun
yang bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan Kuntowijoyo (1997:85) berpendapat
bahwa Pancasila adalah obyektifikasi Islam. Meskipun dia mengingatkan bahwa
Islam adalah agama dan Pancasila adalah ideologi. Bagi Kunto, ideologi dan
agama dibedakan berdasarkan motif. Ideologi tanpa agama dapat berjalan karena
dalam diri manusia terdapat apa yang disebut Immanuel Kant sebagai categorical
imperative, seperti nilai-nilai disiplin, setia kawan, kedermawanan, dan nilai
etika yang lain. Dalam agama terdapat sistem dosa-pahala, surga-neraka, dan
halal-haram yang semuanya berdasar keimanan dan kemudian menggiring seseorang
untuk bertindak sesuai dengan kategori-kategori yang dia yakini. Categorical
imperative - sebagai sistem sekuler - juga memiliki sanksi yang bersifat
personal, berupa rasa bersalah, dan sanksi institusional yang terwujud dalam
hukum formal.
Pancasila
menggabungkan konsep tentang kekuasaan (ketuhanan dan kedaulatan rakyat),
konsep tentang proses (kemanusiaan dan kebangsaan), dan konsep tentang tujuan
(keadilan sosial). Keunikan Pancasila adalah bahwa kekuasaan diletakkan di
bawah Tuhan dan rakyat - teodemokrasi. Istilah ini tersusun dari dua istilah:
teokrasi dan demokrasi. Teokrasi (teosentrisme) - dengan menghilangkan konotasi
negatif ala Barat - bagi umat Islam sama dengan istilah tawhid, yaitu
menjadikan Tuhan sebagai pusat. Ini berarti bahwa kekuasaan Tuhan ada di atas
kekuasaan negara. Dalam pelaksanaannya kekuasaan dilaksanakan dengan
memerhatikan prinsip-prinsip agama, seperti syura dan keadilan. Sementara
demokrasi adalah sistem kekuasaan dengan kedaulatan berada sepenuhnya di tangan
rakyat, tanpa harus terikat pada hukum-hukum Tuhan. Dengan demikian,
teodemokrasi adalah konsep tentang kekuasaan negara yang dibatasi oleh hukum
Tuhan di satu sisi dan oleh rakyat di sisi lain. Dapat pula dirumuskan bahwa ia
adalah kekuasaan yang dimiliki oleh rakyat dengan keyakinan bahwa sumber
kekuasaan adalah Tuhan. Sebelum konsep demokrasi dikenal, tanggung jawab
kekuasaan dilaksanakan hanya kepada Tuhan, sehingga sering disalahgunakan.
Dalam sejarah Jawa misalnya, seorang raja memakai gelar khalifatullah dan dalam
sistem kesadaran rakyat kekuasaan raja dianggap sebagai kekuasaan Tuhan yang
tidak bisa di ganggu gugat. Hal ini yang kemudian memberi konotasi negatif
terhadap sistem teokrasi dalam kajian politik di Barat (Kuntowijoyo, 1997:62;
Burhan dan Muhammad (eds.), 2001:29). Diagram berikut memperjelas perbedaan
ketiga sistem kekuasaan di atas:
1.
Teodemokrasi
2.
Demokrasi
3.
Teokrasi
Nasionalisme
Indonesia yang berbentuk negara-bangsa dan menggunakan demokrasi sebagai sistem
politik tidak bertentangan dengan Islam sepanjang ia tidak melanggar
batasan-batasan yang telah ditetapkan dalam agama. Abul A’la Maududi (2004:54)
menyatakan bahwa setiap individu dalam masyarakat Islam memiliki hak dan
kekuasaan sebagai khalifah Allah dan dalam hal ini semua individu adalah sama.
Institusi yang menangani urusan negara dibentuk sesuai dengan kehendak
individu-individu dalam masyarakat. Pendapat mereka menentukan bentuk,
pemimpin, dan segala sesuatu yang terkait dengan pemerintahan sesuai
prinsip-prinsip Islam. Dalam hal ini, sistem politik Islam merupakan demokrasi
yang sebenarnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari makalah yang telah kami bahas kami dapat menarik
kesimpulan bahwa nasionalisme dalam perspektif Islam dapat diterima apabila
yang dimaksud nasionalisme adalah kerinduan atau keberpihakan terhadap tanah
air, keharusan berjuang membebaskan tanah air dari penjajahan, ikatan
kekeluargaan antar masyarakat, dan pembebasan negeri-negeri lain. Dan bahkan
dalam kondisi tertentu nasionalisme seperti itu dapat dianggap sebagai
kewajiban
Adapun nasionalisme Indonesia yang tertuang dalam sila-sila
pancasila dapat diterima karena pancasila tidak bertentangan dengan isi ajaran Islam.
Karena pancasila menggabungkan antara
kekuasaan ketuhanan dengan kedaulatan rakyat maka apabila kekuatan orang Islam
yang menjabat di Dewan Perwakilan Rakyat lebih mendominasi dan sepakat
memasukkan aturan-aturan Islam dalam Undang-undang maka itu dapat dilaksanakan.
B. Saran
Kami berharap kepada para pemerintah agar dalam
pelaksanaan/ pembuatan Undang-undang agar lebih mengacu kepada ajaran/ konsep
Islam karena agama Islam adalah agama universal dan peraturan dalam ajaran
Islam selamanya pasti akan membawa kepada kebaikan.
Dan begitu pula kepada segenap warga masyarakat
Indonesia agar menjaga nasionalisme dengan cara sling menghargai/menghormati
antar umat beragama, bersuku dan berbangsa.
C.
DAFTAR PUSTAKA
Ali,
Lukman. Dkk. 1994. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Anderson,
Benedict. 1991. Imagined Community:
Komunitas-Komunitas Terbayang. Terjemahan oleh Omi Intan Naomi. 2002.
Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Boisard, Marcel
A. 1979. Humanisme Dalam Islam.
Terjemahan oleh M. Rasjidi. 1980. Jakarta: Bulan Bintang.
Burhan, A.S. dan
Muhammad, Agus (Eds.). 2001. Demokratisasi
dan Demiliterisasi: Wacana dan Pergulatan di Pesantren. Jakarta: P3M.
Dault, Adhyaksa.
2005. Islam dan Nasionalisme:
Reposisi Wacana Universal Dalam Konteks Nasional. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Kuntowijoyo.
1997. Identitas Politik Umat Islam.
Bandung: Mizan.
Maududi, Abul
A’la. Tanpa Tahun. Islam Kaffah:
Menjadikan Islam Sebagai Jalan Hidup. Terjemahan oleh Muhammad Humaidi.
2004. Jogjakarta: Cahaya Hikmah.
Purcell, Hugh.
Tanpa Tahun. Fasisme. Terjemahan oleh
Faisol Reza dkk. 2000. Jogjakarta: Insist Press.
Riff, Michael A.
(ed). 1982. Kamus Ideologi Politik Modern.
Terjemahan oleh M. Miftahuddin dan Hartian Silawati. 1995. Jogjakarta: Pustaka
Pelajar.
Simandjuntak,
Marsillam. 2003. Pandangan Negara
Integralistik: Sumber, Unsur, dan Riwayatnya Dalam Persiapan UUD 1945.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Yatim, Badri.
2001. Soekarno, Islam, Dan Nasionalisme.
Bandung: Nuansa.
Не важно как определяют национализм академики или историки, важно как его понимают те в руках которых власть или тех кто хочет власти называя себя националистами.
BalasHapus