
Sinkritisme Filsafat
dan Agama, Filsafat Ketuhanan dan Al-Nafs
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Berfilsafat berarti “berfikir“.
filsafat berarti “alam fikiran“ atau alam berfikir”. Namun demikian tidak semua
berfikir berarti berfilsafat. Sidi Gazalba mengartikan “berfilsafat“ berarti mencari
kebenaran untuk kebenaran tentang segala sesuatu yang dimasalahkan, berfikir secara radikal, sistematis, dan universal. Dapatlah dikatakan bahwa
intisari filsafat ialah berfikir secara logika dengan bebas (tidak terikat pada
tradisi, dogma dan agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke
dasar-dasar persoalan.
Agama yang berarti menguasai diri
seorang dan membuat ia tunduk dan patuh kepada tuhan dengan menjalankan ajaran
agama. intisari yang terkandung didalamnya adalah “ ikatan“. Agama mengandung
arti ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Karena mempunyai
pengaruh dalam aktivitas manusia. Dan ikatan itu, mempunyai kekuatan gaib yang
tak dapat ditangkap dengan panca indra.
Filsafat bagi al-kindi ialah
pengetahuan tentang yang benar. Disinilah terdapat persamaan filsafat dan
agama. Tujuan agama ialah menerangkan apa yang benar, apa yang baik, demikian halnya filsafat. Agama,
disamping wahyu, mempergunakan akal, dan filsafat juga menggunakan akal. Yang benar pertama bagi
Al-Kindi ialah Tuhan dan filsafat yang paling tinggi ialah filsafat tentang
Tuhan. Bahkan Al-Kindi berani mengatakan bagi orang yang menolak filsafat,
telah mengingkari kebenaran, dan menggolongkannya kepada “kafir”, karena
orang-orang tersebut telah jauh dari kebenaran, walaupun menganggap dirinya
paling benar. Karena keselarasan antara filsafat dan agama didasarkan pada tiga
alasan:(1) ilmu agama merupakan bagian dari filsafat, (2) wahyu yang diturunkan
kepada nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian dan,(3) menurut ilmu,
secara logika, diperintahkan dalam Agama.
Filsafat Islam memiliki karakteristik
yang berbeda dengan filsafat mana pun di dunia. Lahirnya filsafat didasarkan
pada Al-quran sebagai sumber dorongan dan sumber informasi. Akan
tetapi, banyak kesalah fahaman dan anggapan bahwa filsafat Islam itu
bertentangan dengan Alquran dan hadis. Padahal, yang dibicarakan di dalamnya
adalah masalah-masalah yang belum ditemukan dan masih bisa di cari kebenarannya
tentunya yang bersumber dari Alquran dan hadis.
Terkait dengan hal diatas maka perlu di
ungkapkan beberapa bentuk dari filsafat Islam yang juga terlahir dari khasanah
pemikiran orang-orang Islam. Salah satu contoh filosof dari orang Islam adalah
Al-Kindi yang akan di jelaskan lebih lanjut di dalam makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
1. Siapakah itu Al-Kindi dan apa saja
karya-karya tulisnya ?
2. Bagaimana pokok pemikirannya tentang
filsafat dan agama, filsafat ketuhanan dan al-nafs?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Hidup Al-Kindi
Al Kindi merupakan filosof pertama dalam dunia filsafat
islam. Pemikiran-pemikiran filosofisnya sangat menonjol dikarenakan dia adalah seorang filosof muslim yang berusaha untuk mensinkronisasikan agama dan filsafat. Al Kindi meyakini bahwa agama dan filsafat
atau nalar dan wahyu bisa diselaraskan.
Nama lengkap Al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya’cup Ibnu Ishaq Ibnu
Al-Shabbah Ibnu Imron Ibnu Muhammad Ibnu Asy’as Ibnu Qais Al-Kindi. Al-Kindi
dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H (801 M) dari keluarga kaya dan
terhormat. Sedikit sekali informasi yang kita peroleh tentang pendidikannya. Ia
pindah dari Kufah ke Basrah, sebuah pusat studi bahasa dan teologi Islam.
Kemudian selagi masih muda, ia menetap di Baghdad, ibu kota kerajaan Bani
Abbas, yang juga sebagai jantung kehidupan intelektual pada masa itu.[1] Ia sangat tekun mempelajari berbagai
disiplin ilmu, oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila Al- indi mendapat pengetahuan dan menguasai
ilmu astronomi, ilmu ukur, ilmu alam, ilmu pasti, seni musik, meteorologi,
optikal, kedokteran, matematika, filsafat dan politik. Al-Kindi adalah orang Islam
pertama keturunan Arab dalam jajaran filosof terkemuka.
Terlepas dari sedikitnya informasi
biografi tentang Al-Kindi, sumber-sumber klasik menyebutkan bahwa sumbangan
besar Al-Kindi bagi perkembangan filsafat dan sains Islam, Ibn Nadim (w. 995)
seorang pustakawan yang terpercaya menyebutkan adanya 242 buah karya Al-Kindi,[2] dalam bidang yang telah kami sebutkan di atas. Selain karya yang berbentuk buku, Al-Kindi juga menulis
sejumlah makalah yang menyangkut studi agama India, Chalden dan Harran.[3]
B.
Karya-karya Al-Kindi
Sebagai seorang ilmuwan yang kaya dengan pengetahuan,
al-Kindi membuat karya tulis ilmiah, menerjemahkan buku-buku Yunani dan sekaligus
mengoreksi serta melakukan perbaikan terjemahan orang lain. Beberapa hasil tulisan
yang dibuat oleh Al Kindi, yakni sebagai berikut[4]:
1.
Bidang Filsafat : Fi al-falsafat al-‘Ula, Kitab al-Hassi’ala Ta’allum
al-Falsafat, Risalat ila al-Ma’mun fi al-illat wa Ma’lul, Risalat fi Ta’lif al-A’dad, Kitab al-Falsafat al-Dakhilat wa
al-Masa’il al-Manthiqiyyat wa al-Mu’tashah wa ma Fauqa al-Thabi’iyyat, Kammiyat Kutub Aristoteles, Fi al-Nafs
2.
Bidang Astronomi : Risalah
fi Masa’il Su’ila anha min Ahwal al-Kawatib (jawaban dari pertanyaan tentang
planet), Risalah fi Jawab Masa’il Thabi’iyah fi Kayfiyyat Nujumiah
(pemecahan soal-soal fisik tentang sifat-sifat perbintangan), Risalah fi anna Ru’yat al Hilal la
Tudhbathu bi al-Haqiqoh wa innama al-Qowl fiha bi at-Taqrib (bahwa pengamatan
astronomi bulan baru tidak dapat ditentukan dengan ketetapan, Risalah fi Mathrah asy-Syu’a (tentang
projeksi sinar), Risalah fi Fashlayn (tentang dua musim yakni; musim panas
dan musim dingin), Risalah fi Idhah ‘illat Ruju’ al-Kawakib (tentang penjelasan
sebab gerak kebelakang planet-planet), Fi asy-Syu’at (tentang sinar bintang).
3.
Meteorologi : Risalah fi ’illat Kawnu adh-Dhabasb
(tentang sebab asal mula kabut), Risalah fi Atshar alladzi Yazhharu fi al-laww Yusamma Kawkaban
(tentang tanda yang tampak di langit dan disebut sebuah planet), Risalah fi ’illat Ikhtilaf Anwa’us
Sanah (tentang sebab perbedaan dalam tahun-tahun), Risalah fi al-Bard al-Musamma ”Bard
al-Ajuz” (tentang dingin),
4.
Ramalan : Risalah fi Taqdimat al-Khabar (tentang
Prediksi), Risalah fi Taqdimat al-Ma’rifat fi al-Ahdats (tentang
ramalan dengan mengamati gejala meteorolgi).
5.
Ilmu Pengobatan : Risalah fi’illat Naftcad-Damm (tentang
hemoptesis yakni; batuk darah dari saluran pernapasan), Risalah fi Adhat al-Kalb al-Kalib
(tentang rabies).
6.
Ilmu Hitung :Risalah fi al-Kammiyat al-Mudhafah (tentang jumlah relatif), Risalah fi at-Tajhid min Jihat al-’Adad
(tentang keesaan dari segi angka-angka).
7.
Logika : Risalatun fi Madhkal al-Mantiq bi
Istifa al-Qawl fihi (tentang sebuah pengantar lengkap logika), Ikhtisar Kitab Isaghuji li Farfuris
(sebuah ikhtisar Eisagoge Porphyry).
C.
Sinkritisme Antara Filsafat dan
Agama
Selama ini orang berpendapat bahwa
antara agama dan filsafat sebagai dua hal yang saling kontradiktif. Pandangan tersebut
pada mulanya dianut oleh mereka yang berpaham konservatif dan sangat anti dalam
menggunakan akal dalam persoalan agama. Mereka berdasar pada asumsi bahwa
filsafat secara epistemologi bertolak pada murni akal dan memakai metode skeptis
(keragu- raguan). Sedangkan agama adalah wilayah keimanan yang membutuhkan
keyakinan, jawaban ini sepintas cukup memuaskan namun sungguh tidak tepat jika
jawaban ini kemudian diterapkan pada filsafat Islam.[5]
Al-Kindi adalah orang Islam pertama meretas jalan mengupayakan
pemaduan dan keselarasan antara filsafat dan agama atau akal dan wahyu, karena
antara keduanya tidak bertentangan karena masing-masing adalah ilmu tentang
kebenaran. Sedangkan kebenaran itu hanyalah satu, dalam pengembangan filsafat
pertama Al-Kindi mengatakan : ”yang paling luhur dan paling mulia di antara
segala seni manusia adalah seni filsafat, pengetahuan segala hal, sejauh batas
akal manusia, tujuannya adalah mengetahui hakekat kebenaran dan bertindak
sesuai dengan kebenaran itu”.[6]
Bagi Al-Kindi, argumen yang dibawa Al-qur’an lebih
menyakinkan daripada argumen yang dikemukakan filsafat, tetapi filsafat dan
Al-Qur’an tidaklah bertentangan, Al-Kindi mengatakan “Kebenaran yang
diberitakan wahyu tidaklah bertentangan dengan kebenaran yang dibawa oleh
filsafat, karena filsafat adalah pengetahuan tentang yang benar (knowledge
of truth)”[7].
Dari sini kita lihat persamaan antara filsafat dan agama, yaitu menerangkan apa
yang benar dan apa yang baik, agama disamping wahyu juga menggunakan akal sebagaimana
filsafat menggunakan akal.
Menurut Al-Kindi “kita wajib berterima kasih kepada para
pendahulu yang telah memberikan kita ukuran kebenaran, dengan menganjurkan kita
memetik buah pikiran mereka dan memperluas kesempatan kita mencapai masalah-
masalah yang tersembunyi dari kebenaran itu, mereka juga telah memberi rambu-
rambu yang meluruskan jalan kita menuju kebenaran”[8].
Tujuan Al-Kindi di atas adalah untuk menghalalkan filsafat
bagi umat Islam, usaha yang dilakukan cukup menarik dan bijaksana, ia mulai dengan
membicarakan kebenaran sesuai dengan anjuran agama yang mengajarkan bahwa kita
wajib menerima kebenaran dengan sepenuh hati tanpa mempersoalkan sumbernya,
sekalipun misalnya sumber itu dari orang asing, kemudian usaha berikutnya ia
masuk pada persoalan pokok yakni filsafat. Telah diketahui bahwa tujuan
filsafat sejalan dengan ajaran yang dibawa oleh Rasul, oleh karena itu sekalipun
ia datang dari Yunani, maka kita menurut Al-Kindi wajib mempelajarinya bahkan
lebih jauh dari kita wajib mencarinya[9].
Menurut Al-Kindi ada dua jenis ilmu pengetahuan : pertama,
pengetahuan ilahi, yaitu segala pengetahuan yang tertuang dalam Al-Qur’an,
pengetahuan ilahi ialah rangkaian pengetahuan yang langsung diturunkan oleh
Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw. Pondasi pengetahuan ilahi adalah keyakinan
atau iman. Kedua, pengetahuan manusiawi atau falsafat yang menggunakan
pemikiran rasional,[10]
kedua pengetahuan ini satu dengan yang lain tidak mengandung pertentangan hanya
dasar dan argumentasinya yang berbeda, dengan kata lain pengetahuan filsafat adalah
pengetahuan yang menggunakan akal sedangkan pengetahuan ilahi berasal dari
wahyu.[11]
Selanjutnya menurut Al-Kindi “pengetahuan manusia sendiri
terdiri dari pengetahuan aqli dan pengetahuan naqli, pengetahuan pertama dapat
mengungkapkan hakekat sesuatu, sedangkan pengetahuan terakhir hanya dapat
mengungkapkan bagian-bagian sifat dari obyeknya”[12].
Hakekat yang dimaksud adalah sifat-sifat umum dari objek.
Sebagai orang yang mempelajari pikiran-pikiran filsafat dari
masa-masa sebelumnya, maka ia memperkenalkan pikiran-pikiran itu kepada dunia
arab Islam tentang berbagai persoalan yang sebenarnya terasa asing oleh mereka.
Oleh karena itu, timbullah reaksi pada mereka untuk tidak mengambil filsafat
dalam menyelesaikan persoalan agama. Namun, Al-Kindi tetap semangat untuk
menghalalkan filsafat bagi umat Islam, untuk memuakan pihak terutama orang-
orang yang tidak senang pada filsafat, dalam usaha pemaduan ini Al-Kindi juga
membawakan ayat-ayat Al-Qur’an menurutnya menerima dan mempelajari filsafat
sejalan dengan ajaran Al-Qur’an yang memerintahkan pemeluknya untuk meneliti
dan membahas segala fenomena di alam semesta ini, di antara ayat-ayatnya sebagai
berikut [13]:
1. Surat Al-Hasyr (59) : 2
….maka
ambillah untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan
2. Surat Al-A’raf (7): 185
Dan apakah mereka tidak memperhatikan
kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah.
3. Surat Al-Ghasyiyat (88) : 17-20
Maka apakah mereka tidak memperhatikan
untuk bagaimana ia diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan. Dan
gunung-gunung, bagaimana ia ditegakkan. Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan.
Dengan demikian, Al-Kindi telah membuka pintu bagi
penafsiran filosofis terhadap Al-Qur’an, sehingga menghasilkan persesuaian
antara wahyu dan akal dan antara filsafat dan agama didasarkan pada tiga alasan
:
1. Ilmu agama merupakan bagian dari
filsafat
2. Wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan kebenaran
filsafat saling bersesuaian
Menurut Al-Kindi untuk memahami tujuan Nabi SAW. dalam
Al-Qur’an, diperlukan penafsiran atau penjajakan makna-makna taksa (ambigous)
yang terkandung dalam Al-Qur’an dengan sikap seperti ”orang-orang beragama dan
berakal budi yang benar” , dia juga melukiskan penafsiran itu dengan mengutip ayat
Al-Qur’an (QS. Al-Rahman (55): 6) yang berbunyi, “ bintang-bintang dan
pepohonan bersujud pada Allah….., Al-Kindi menunjukkan bahwa apabila
ditafsirkan secara tepat, ayat tersebut bisa menjelaskan betapa segala sesuatu termasuk
yang di angkasa luar, bersujud kepada Allah.[15]
Tampak jelas bahwa Al- Kindi adalah pelopor dikembangkannya penafsir hermeneutic
(takwil) pada ayat taksan (mutasyabihat) dalam Al-Qur’an.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Al-Kindi merupakan pioner
dalam melakukan usaha pemaduan antara filsafat dan agama atau antara akal dan
wahyu. Ia melempengkan jalan bagi Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd yang
datang kemudian atau dapat dikatakan bahwa Al-Kindi telah memainkan peranan
yang besar dan penting dalam pentas filsafat Islam.
D.
Filsafat Ketuhanan
Sebagaimana yang telah dikemukakan, kegiatan manusia yang
paling mulia adalah mencari dan mengamalkan kebenaran, yaitu berfilsafat, dan
filsafat yang paling utama adalah filsafat pertama yang tidak lain dari sebab
pertama yakni Tuhan.
Al-Kindi yang membicarakan ketuhanan, antara lain dalam
tulisannya fi al- falsafat al-ula dan fi wahdaniyyat al-Allah wa
tanahil jiran al-‘a’lam,[16]
dari tulisan-tulisan tersebut pandangan Al-Kindi tentang ketuhanan sesuai dengan
ajaran Islam dan bertentangan dengan pendapat Plato, Aristoteles dan Plotinus.
Allah bagi Al-Kindi adalah wujud yang sebenarnya, bukan
berasal dari tiada kemudian ada, Ia mustahil tidak ada dan selalu ada dan akan selalu
ada selamanya, Allah adalah wujud yang sempurna dan tidak didahului wujud yang
lain, wujudnya tidak berakhir, sedangkan wujud lain disebabkan wujudnya.[17]
Oleh karena itu pencipta (Allah) itu tidaklah banyak, melainkan Maha Esa, tidak
terbilang, Maha Suci dan Maha Tinggi, sejauh-jauhnya dalam penyelewengan agama,
Dia tidak menyerupai alam ciptaan, karena sifat banyak itu ada secara nyata
pada setiap ciptaan dan sifat itu sama sekali tidak ada pada-Nya.[18]
Oleh karena itu berbeda dengan keberadaan alam, Al-Kindi
memandang bahwa alam, sebagai ciptaan Allah beredar menurut aturan-Nya
(sunatullah) tidak qadim, tetapi mempunyai permulaan, alam diciptakan oleh Allah
dari tiada menjadi ada (creation exnihilo) atau menurut istilah yang
digunakan (izh- hak al– ayai’ an laisa)[19]
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa Tuhan bagi Al-Kindi
adalah, Yang Maha Esa, dalam arti sesungguhnya, sedangkan Esa-esa yang lain
yang terdapat dalam alam, hanyalah dalam arti majazi, keesaan Tuhan
tidak mengandung kejamakan, sedangkan esa-esa yang lain tidak sunyi dari kejamakan
itu, tiap-tiap benda mempunyai dua hakikat, yaitu hakikat juz’i (individual,
disebut aniyah) dan hakikat kulli (umum disebut mahiyah)
yaitu hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus (jenis) dan
spesies (macam), maka Tuhan dalam filsafat Al-Kindi, tidaklah demikian “Tuhan
tidak mempunyai hakikat dalam arti aniyah dan mahiyah” tidak
aniah karena Tuhan tidak termasuk dalam benda-benda yang ada dalam alam, bahkan
ia adalah pencipta alam. Tuhan tidak tersusun dari materi dan bentuk (hayullah),
juga Tuhan tidak mempunyai hakekat dalam bentuk mahiyah karena Tuhan
tidak merupakan genus atau spesies, Tuhan hanya satu, tidak ada yang
serupa dengan Tuhan. Tuhan adalah unik, Ia adalah yang benar pertama dan yang
benar tunggal, Ia semata-mata satu, hanya Ialah yang satu, selain dari Tuhan semuanya
mengandung arti banyak”.[20]
Sesuai ajaran paham Islam, Tuhan bagi Al-Kindi adalah
pencipta dan bukan penggerak pertama seperti pendapat Aristoteles. Alam bagi
Al-Kindi bukan kekal di zaman lampau (qadim) tetapi mempunyai permulaan,
karena itu dalam hal ini Ia lebih dekat dengan filsafat platonus yang
mengatakan bahwa yang maha satu (to–hen) adalah sumber dari alam
ini dan sumber dari segala yang ada[21].
Untuk membuktikan adanya Allah, Al-Kindi menggunakan tiga
jalan, yaitu:
1.
baharunya alam,
2.
keanekaragaman dalam wujud (katstrah fil mujudat),
dan
3.
kerapian alam.[22]
Untuk jalan pertama Al-Kindi memulai jalan pembuktian dengan
mengajukan pertanyaan, mungkinkah sesuatu itu menjadi sebab bagi wujud darinya
ataukah tidak mungkin? Lalu dia menjawabnya sendiri bahwa, hal itu tidak
mungkin karena tidak masuk akal sesuatu menciptakan dirinya sendiri,
dengandemikian alam ini adalah baharu (muhdah) dan mempunyai permulaan waktu
karena alam ini terbatas. Selanjutnya jalan kedua bahwa alam ini mesti ada
penyebab terjadiya karena tidak mungkin ada benda dengan sendirinya, untuk
jalan ketigayaitu jalan kerapian Al-Kindi mengatakan bahwa alamlahir tidak
mungkin rapi dan teratur kecuali karena adanya zat tidak nampak, zat yang tidak
nampak tersebut hanya dapat diketahui dengan melalui bekas-bekas-Nya dan kerapian
yang terdapat dalam alam ini.[23]
E.
Jiwa (Al-Nafs)
Kaum filosof Muslim memakai kata jiwa (al-nafs) pada apa
yang diistilahkan Alquran dengan al-ruh. Kata ini telah masuk ke dalam bahasa Indonesia
dalam bentuk nafsu, nafas, dan roh. Akan tetapi, kata nafsu dalam pemakaian
sehari-hari berkonotasi dengan dorongan untuk melakukan perbuatan yang kurang
baik sehingga kata ini sering dirangkaikan menjadi satu dengan kata hawa, yakni
hawa nafsu.
Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad SAW tidak menjelaskan
secara tegas tentang roh atau jiwa. Bahkan Al-Quran sebagai sumber pokok ajaran
Islam menginformasikan bahwa manusia tidak akan mengetahui hakikat roh karena
itu adalah urusan Allah dan bukan urusan manusia (pada surah Al-Isra’: 85)
Justru itu, kaum filosof Muslim membahas jiwa mendasarkannya pada filsafat jiwa
yang dikemukakan para filosof Yunani, kemudian mereka selaraskan dengan ajaran
Islam.
Sebagaimana jiwa dalam filsafat Yunani, Al-Kindi juga mengatakan
bahwa jiwa adalah jauhar basith (tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam,
dan lebar). Jiwa mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia. Substansinya
berasal dari substansi Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungan
cahaya dengan inatahari. Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah, dan berbeda
dengan jasad atau badan. Jiwa bersifat rohani.[24]
Argumen tentang bedanya jiwa dengan badan, menurut Al-Kindi
ialah jiwa menentang keinginan hawa nafsu. Apabila nafsu marah mendorong
manusia untuk melakukan kejahatan, maka jiwa menentangnya. Hal ini dapat
dijadikan indikasi bahwa jiwa sebagai yang melarang tentu tidak sama dengan
hawa nafsu sebagai yang dilarang.
Al-Kindi menolak pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa
jiwa manusia sebagaimana benda-benda, tersusun dari dua unsur, materi dan
bentuk. Materi ialah badan dan bentuk ialah jiwa manusia. Hubungan jiwa dengan
badan sama dengan hubungan bentuk dengan materi. Bentuk atau jiwa tidak bisa
mempunyai wujud tanpa materi atau badan dan begitu pula sebaliknya materi atau
badan tidak pula bisa wujud tanpa bentuk atau jiwa. Dalam hal ini pendapat Al-Kindi lebih
dekat pada pendapat Plato yang mengatakan bahwa kesatuan antara jiwa dan badan
adalah kesatuan acciden, binasanya badan tidak membawa binasa pada jiwa.
Al-Kindi juga menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat
tiga daya yaitu daya bernafsu yang terdapat di perut, daya marah yang terdapat
di dada, dan daya pikir yang berpusat dikepala.[25]
Al-Kindi dalam risalahnya menjelaskan akal. la gambarkan akal sebagai suatu
potensi sederhana yang dapat mengetahui hakikat-hakikat sebenarnya dari
benda-benda. Akal, menurutnya, terbagi menjadi tiga macam yaitu:[26]
1. Akal yang selamanya dalam aktualitas.
Akal pertama ini berada di luar jiwa manusia, bersifat Ilahi, dan selamanya
dalam aktualitas. Karena selalu berada dalam aktualitas, akal inilah yang
membuat akal yang bersifat potensi dalam jiwa manusia menjadi aktual.
Sifat-sifat akal ini ialah sebagai berikut:
a.
Ia adalah Akal Pertama
b.
Ia selamanya dalam aktualitas
c.
Ia membuat akal potensial menjadi aktual berpikir
d.
Ia tidak sama dengan akal potensial, tetapi lain daripadanya
2. Akal yang bersifat potensial, yakni
akal murni yang ada dalam diri manusia yang masih merupakan potensi dan belum
menerima bentuk-bentuk indrawi dan yang akali.
3. Akal yang bersifat perolehan. Ini
adalah akal yang telah keluar dari potensialitas ke dalam aktualitas, dan mulai
memperlihatkan pemikiran abstraksinya. Akan perolehan ini dapat dicontohkan
dengan kemampuan positif yang diperoleh orang dengan belajar, misalnya tentang
bagaimana cara menulis.
BAB III
KESIMPULAN
Al-Kindi, adalah seorang filosof yang berusaha mempertemukan
agama dengan filsafat. Ia berupaya membuktikan bahwa berfilsafat tidak
dilarang. Sebagai filosof islam pertama yang menyelaraskan agama dengan
filsafat, ia telah melicinkan jalan bagi filosof sesudahnya, seperti Al-Farabi,
Ibn Sina, dan Ibn Rusyd.
Al-Kindi mengatakan bahwa kebenaran yang diberitakan wahyu tidaklah
bertentangan dengan kebenaran yang dibawa oleh filsafat, karena filsafat adalah
pengetahuan tentang yang benar.
Filsafat ketuhanan dalam pandangan Al-Kindi adalah bahwa
Tuhan adalah wujud yang sebenarnya, buka berasal dari tiada menjadi ada.
Allah mustahil tidak ada dan selalu ada dan akan ada selamanya. Allah adalah
wujud yang sempurna dan tidak didahului wujud lain.
Menurut Al-Kindi jiwa adalah jauhar basith yaitu
tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam dan lebar, jiwa mempunyai arti
yaitu sempurna, jiwa mempunyai wujud tersendiri terpisah dan berbeda dengan
badan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van
Houve, 2002.
Amin, Miska Muhammad, Epistemologi
Islam, Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam, Jakarta : UI Press, 1983.
Bagir, Haidar, Buku Saku
Filsafat, Bandung : Arasy, 2005.
Daradjat, Amroni, Suhrawardi
: Kritik Filsafat Paripetik, Jakarta : LKIS,
2005.
Fakhry, Madjid, A Short
Introduction to Islamic Philosofhy,Teology and Misticisme, terj. Zainun Am, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis,
Bandung : Mizan, 2001.
Hanafi, Ahmad, Pengantar
Filsafat Islam,
Jakarta: Bulan
Bintang, 1991.
Majid, Nurcholis, Khazanah
Intelektual Muslim, Jakarta : Bulan Bintang, 1989.
Praja, Juhaya
S, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam dan Penerapannya di Indonesia, Jakarta : Teraju, 2002.
Rasyidi, H. M., Islam
untuk Disiplin Ilmu Filsafat, ,Jakarta : Bulan Bintang, 1980.
Zar, Sirajudin, Filsafat
Islam: Filosof dan
filsafatnya, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004.
[1]Sirajudin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), h. 37.
[2]Madjid Fakhry, A Short Introduction
to Islamic Philosofhy,Teology and Misticisme, terj. Zainun Am, Sejarah Filsafat Islam:
Sebuah Peta Kronologis, (Bandung
: Mizan, 2001), Cet. I h.26
[4]http://syafieh.blogspot.com/2013/03/filsafat-al-kindi.html#ixzz3vP2IBSHP,
di akses tanggal 25 Desember 2015
[7]Juhaya S Praja, Filsafat dan Metodologi
Ilmu dalam Islam dan Penerapannya di Indonesia, (Jakarta : Teraju, 2002), h. 197
[9]Taufik Abdullah, Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru
Van Houve, 2002) h. 180
[11]Miska Muhammad Amin, Epistemologi
Islam, Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam, (Jakarta : UI Press, 1983), h. 38
[12]Ibid, h. 39
[13]Sirajuddin Zar, op.cit, h. 45
[14]Ibid., h. 47
[15]Madjid Fakhry, Op.Cit., h. 29
[16]Sirajuddin Zar, Op.Cit.,h. 50
[17]Ibid
[19]Sirajuddin Zar, op.cit, h. 52
[20]Harun Nasution, loc.cit, h.16
[21]Ibid, h. 17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar