Senin, 04 April 2016

PEMIKIRAN FILOSOF ISLAM PERTAMA (AL-KINDI) Sinkritisme Filsafat dan Agama, Filsafat Ketuhanan dan Al-Nafs

PEMIKIRAN FILOSOF ISLAM PERTAMA (AL-KINDI)
Sinkritisme Filsafat dan Agama, Filsafat Ketuhanan dan Al-Nafs

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Berfilsafat berarti “berfikir“. filsafat berarti “alam fikiran“ atau alam berfikir”. Namun demikian tidak semua berfikir berarti berfilsafat. Sidi Gazalba mengartikan “berfilsafat“ berarti mencari kebenaran untuk kebenaran tentang segala sesuatu yang dimasalahkan, berfikir secara radikal, sistematis, dan universal. Dapatlah dikatakan bahwa intisari filsafat ialah berfikir secara logika dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma dan agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar persoalan.
Agama yang berarti menguasai diri seorang dan membuat ia tunduk dan patuh kepada tuhan dengan menjalankan ajaran agama. intisari yang terkandung didalamnya adalah “ ikatan“. Agama mengandung arti ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Karena mempunyai pengaruh dalam aktivitas manusia. Dan ikatan itu, mempunyai kekuatan gaib yang tak dapat ditangkap dengan panca indra.
Filsafat bagi al-kindi ialah pengetahuan tentang yang benar. Disinilah terdapat persamaan filsafat dan agama. Tujuan agama ialah menerangkan apa yang benar, apa yang baik, demikian halnya filsafat. Agama, disamping wahyu, mempergunakan akal, dan filsafat juga menggunakan akal. Yang benar pertama bagi Al-Kindi ialah Tuhan dan filsafat yang paling tinggi ialah filsafat tentang Tuhan. Bahkan Al-Kindi berani mengatakan bagi orang yang menolak filsafat, telah mengingkari kebenaran, dan menggolongkannya kepada “kafir”, karena orang-orang tersebut telah jauh dari kebenaran, walaupun menganggap dirinya paling benar. Karena keselarasan antara filsafat dan agama didasarkan pada tiga alasan:(1) ilmu agama merupakan bagian dari filsafat, (2) wahyu yang diturunkan kepada nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian dan,(3) menurut ilmu, secara logika, diperintahkan dalam Agama.
Filsafat Islam memiliki karakteristik yang berbeda dengan filsafat mana pun di dunia. Lahirnya filsafat didasarkan pada Al-quran sebagai sumber dorongan dan sumber informasi. Akan tetapi, banyak kesalah fahaman dan anggapan bahwa filsafat Islam itu bertentangan dengan Alquran dan hadis. Padahal, yang dibicarakan di dalamnya adalah masalah-masalah yang belum ditemukan dan masih bisa di cari kebenarannya tentunya yang bersumber dari Alquran dan hadis.
Terkait dengan hal diatas maka perlu di ungkapkan beberapa bentuk dari filsafat Islam yang juga terlahir dari khasanah pemikiran orang-orang Islam. Salah satu contoh filosof dari orang Islam adalah Al-Kindi yang akan di jelaskan lebih lanjut di dalam makalah ini.

B.     Rumusan Masalah
1.      Siapakah itu Al-Kindi dan apa saja karya-karya tulisnya ?
2.      Bagaimana pokok pemikirannya tentang filsafat dan agama, filsafat ketuhanan dan al-nafs?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Riwayat Hidup Al-Kindi
Al Kindi merupakan filosof pertama dalam dunia filsafat islam. Pemikiran-pemikiran filosofisnya sangat menonjol dikarenakan dia adalah seorang filosof muslim yang berusaha untuk mensinkronisasikan agama dan filsafat. Al Kindi meyakini bahwa agama dan filsafat atau nalar dan wahyu bisa diselaraskan.
Nama lengkap Al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya’cup Ibnu Ishaq Ibnu Al-Shabbah Ibnu Imron Ibnu Muhammad Ibnu Asy’as Ibnu Qais Al-Kindi. Al-Kindi dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H (801 M) dari keluarga kaya dan terhormat. Sedikit sekali informasi yang kita peroleh tentang pendidikannya. Ia pindah dari Kufah ke Basrah, sebuah pusat studi bahasa dan teologi Islam. Kemudian selagi masih muda, ia menetap di Baghdad, ibu kota kerajaan Bani Abbas, yang juga sebagai jantung kehidupan intelektual pada masa itu.[1] Ia sangat tekun mempelajari berbagai disiplin ilmu, oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila Al- indi mendapat pengetahuan dan menguasai ilmu astronomi, ilmu ukur, ilmu alam, ilmu pasti, seni musik, meteorologi, optikal, kedokteran, matematika, filsafat dan politik. Al-Kindi adalah orang Islam pertama keturunan Arab dalam jajaran filosof terkemuka.
Terlepas dari sedikitnya informasi biografi tentang Al-Kindi, sumber-sumber klasik menyebutkan bahwa sumbangan besar Al-Kindi bagi perkembangan filsafat dan sains Islam, Ibn Nadim (w. 995) seorang pustakawan yang terpercaya menyebutkan adanya 242 buah karya Al-Kindi,[2] dalam bidang yang telah kami sebutkan di atas. Selain karya yang berbentuk buku, Al-Kindi juga menulis sejumlah makalah yang menyangkut studi agama India, Chalden dan Harran.[3]
B.     Karya-karya Al-Kindi
Sebagai seorang ilmuwan yang kaya dengan pengetahuan, al-Kindi membuat karya tulis ilmiah, menerjemahkan buku-buku Yunani dan sekaligus mengoreksi serta melakukan perbaikan terjemahan orang lain. Beberapa hasil tulisan yang dibuat oleh Al Kindi, yakni sebagai berikut[4]:
1.      Bidang Filsafat : Fi al-falsafat al-‘Ula, Kitab al-Hassi’ala Ta’allum al-Falsafat, Risalat ila al-Ma’mun fi al-illat wa Ma’lul, Risalat fi Ta’lif al-A’dad, Kitab al-Falsafat al-Dakhilat wa al-Masa’il al-Manthiqiyyat wa al-Mu’tashah wa ma Fauqa al-Thabi’iyyat, Kammiyat Kutub Aristoteles, Fi al-Nafs
2.      Bidang Astronomi : Risalah fi Masa’il Su’ila anha min Ahwal al-Kawatib (jawaban dari pertanyaan tentang planet), Risalah fi Jawab Masa’il Thabi’iyah fi Kayfiyyat Nujumiah (pemecahan soal-soal fisik tentang sifat-sifat perbintangan), Risalah fi anna Ru’yat al Hilal la Tudhbathu bi al-Haqiqoh wa innama al-Qowl fiha bi at-Taqrib (bahwa pengamatan astronomi bulan baru tidak dapat ditentukan dengan ketetapan, Risalah fi Mathrah asy-Syu’a (tentang projeksi sinar), Risalah fi Fashlayn (tentang dua musim yakni; musim panas dan musim dingin), Risalah fi Idhah ‘illat Ruju’ al-Kawakib (tentang penjelasan sebab gerak kebelakang planet-planet), Fi asy-Syu’at (tentang sinar bintang).
3.      Meteorologi : Risalah fi ’illat Kawnu adh-Dhabasb (tentang sebab asal mula kabut), Risalah fi Atshar alladzi Yazhharu fi al-laww Yusamma Kawkaban (tentang tanda yang tampak di langit dan disebut sebuah planet), Risalah fi ’illat Ikhtilaf Anwa’us Sanah (tentang sebab perbedaan dalam tahun-tahun), Risalah fi al-Bard al-Musamma ”Bard al-Ajuz” (tentang dingin),
4.      Ramalan : Risalah fi Taqdimat al-Khabar (tentang Prediksi), Risalah fi Taqdimat al-Ma’rifat fi al-Ahdats (tentang ramalan dengan mengamati gejala meteorolgi).
5.      Ilmu Pengobatan : Risalah fi’illat Naftcad-Damm (tentang hemoptesis yakni; batuk darah dari saluran pernapasan), Risalah fi Adhat al-Kalb al-Kalib (tentang rabies).
6.      Ilmu Hitung :Risalah fi al-Kammiyat al-Mudhafah (tentang jumlah relatif), Risalah fi at-Tajhid min Jihat al-’Adad (tentang keesaan dari segi angka-angka).
7.      Logika : Risalatun fi Madhkal al-Mantiq bi Istifa al-Qawl fihi (tentang sebuah pengantar lengkap logika), Ikhtisar Kitab Isaghuji li Farfuris (sebuah ikhtisar Eisagoge Porphyry).

C.    Sinkritisme Antara Filsafat dan Agama
Selama ini orang berpendapat bahwa antara agama dan filsafat sebagai dua hal yang saling kontradiktif. Pandangan tersebut pada mulanya dianut oleh mereka yang berpaham konservatif dan sangat anti dalam menggunakan akal dalam persoalan agama. Mereka berdasar pada asumsi bahwa filsafat secara epistemologi bertolak pada murni akal dan memakai metode skeptis (keragu- raguan). Sedangkan agama adalah wilayah keimanan yang membutuhkan keyakinan, jawaban ini sepintas cukup memuaskan namun sungguh tidak tepat jika jawaban ini kemudian diterapkan pada filsafat Islam.[5]
Al-Kindi adalah orang Islam pertama meretas jalan mengupayakan pemaduan dan keselarasan antara filsafat dan agama atau akal dan wahyu, karena antara keduanya tidak bertentangan karena masing-masing adalah ilmu tentang kebenaran. Sedangkan kebenaran itu hanyalah satu, dalam pengembangan filsafat pertama Al-Kindi mengatakan : ”yang paling luhur dan paling mulia di antara segala seni manusia adalah seni filsafat, pengetahuan segala hal, sejauh batas akal manusia, tujuannya adalah mengetahui hakekat kebenaran dan bertindak sesuai dengan kebenaran itu”.[6]
Bagi Al-Kindi, argumen yang dibawa Al-qur’an lebih menyakinkan daripada argumen yang dikemukakan filsafat, tetapi filsafat dan Al-Qur’an tidaklah bertentangan, Al-Kindi mengatakan “Kebenaran yang diberitakan wahyu tidaklah bertentangan dengan kebenaran yang dibawa oleh filsafat, karena filsafat adalah pengetahuan tentang yang benar (knowledge of truth)”[7]. Dari sini kita lihat persamaan antara filsafat dan agama, yaitu menerangkan apa yang benar dan apa yang baik, agama disamping wahyu juga menggunakan akal sebagaimana filsafat menggunakan akal.
Menurut Al-Kindi “kita wajib berterima kasih kepada para pendahulu yang telah memberikan kita ukuran kebenaran, dengan menganjurkan kita memetik buah pikiran mereka dan memperluas kesempatan kita mencapai masalah- masalah yang tersembunyi dari kebenaran itu, mereka juga telah memberi rambu- rambu yang meluruskan jalan kita menuju kebenaran”[8].
Tujuan Al-Kindi di atas adalah untuk menghalalkan filsafat bagi umat Islam, usaha yang dilakukan cukup menarik dan bijaksana, ia mulai dengan membicarakan kebenaran sesuai dengan anjuran agama yang mengajarkan bahwa kita wajib menerima kebenaran dengan sepenuh hati tanpa mempersoalkan sumbernya, sekalipun misalnya sumber itu dari orang asing, kemudian usaha berikutnya ia masuk pada persoalan pokok yakni filsafat. Telah diketahui bahwa tujuan filsafat sejalan dengan ajaran yang dibawa oleh Rasul, oleh karena itu sekalipun ia datang dari Yunani, maka kita menurut Al-Kindi wajib mempelajarinya bahkan lebih jauh dari kita wajib mencarinya[9].
Menurut Al-Kindi ada dua jenis ilmu pengetahuan : pertama, pengetahuan ilahi, yaitu segala pengetahuan yang tertuang dalam Al-Qur’an, pengetahuan ilahi ialah rangkaian pengetahuan yang langsung diturunkan oleh Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw. Pondasi pengetahuan ilahi adalah keyakinan atau iman. Kedua, pengetahuan manusiawi atau falsafat yang menggunakan pemikiran rasional,[10] kedua pengetahuan ini satu dengan yang lain tidak mengandung pertentangan hanya dasar dan argumentasinya yang berbeda, dengan kata lain pengetahuan filsafat adalah pengetahuan yang menggunakan akal sedangkan pengetahuan ilahi berasal dari wahyu.[11]
Selanjutnya menurut Al-Kindi “pengetahuan manusia sendiri terdiri dari pengetahuan aqli dan pengetahuan naqli, pengetahuan pertama dapat mengungkapkan hakekat sesuatu, sedangkan pengetahuan terakhir hanya dapat mengungkapkan bagian-bagian sifat dari obyeknya”[12]. Hakekat yang dimaksud adalah sifat-sifat umum dari objek.
Sebagai orang yang mempelajari pikiran-pikiran filsafat dari masa-masa sebelumnya, maka ia memperkenalkan pikiran-pikiran itu kepada dunia arab Islam tentang berbagai persoalan yang sebenarnya terasa asing oleh mereka. Oleh karena itu, timbullah reaksi pada mereka untuk tidak mengambil filsafat dalam menyelesaikan persoalan agama. Namun, Al-Kindi tetap semangat untuk menghalalkan filsafat bagi umat Islam, untuk memuakan pihak terutama orang- orang yang tidak senang pada filsafat, dalam usaha pemaduan ini Al-Kindi juga membawakan ayat-ayat Al-Qur’an menurutnya menerima dan mempelajari filsafat sejalan dengan ajaran Al-Qur’an yang memerintahkan pemeluknya untuk meneliti dan membahas segala fenomena di alam semesta ini, di antara ayat-ayatnya sebagai berikut [13]:
1.      Surat Al-Hasyr (59) : 2
….maka ambillah untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan

2.      Surat Al-A’raf (7): 185
Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah.

3.      Surat Al-Ghasyiyat (88) : 17-20
Maka apakah mereka tidak memperhatikan untuk bagaimana ia diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan. Dan gunung-gunung, bagaimana ia ditegakkan. Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan.
Dengan demikian, Al-Kindi telah membuka pintu bagi penafsiran filosofis terhadap Al-Qur’an, sehingga menghasilkan persesuaian antara wahyu dan akal dan antara filsafat dan agama didasarkan pada tiga alasan :
1.      Ilmu agama merupakan bagian dari filsafat
2.      Wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian
3.      Menuntut ilmu secara logika diperintahkan agama.[14]
Menurut Al-Kindi untuk memahami tujuan Nabi SAW. dalam Al-Qur’an, diperlukan penafsiran atau penjajakan makna-makna taksa (ambigous) yang terkandung dalam Al-Qur’an dengan sikap seperti ”orang-orang beragama dan berakal budi yang benar” , dia juga melukiskan penafsiran itu dengan mengutip ayat Al-Qur’an (QS. Al-Rahman (55): 6) yang berbunyi, “ bintang-bintang dan pepohonan bersujud pada Allah….., Al-Kindi menunjukkan bahwa apabila ditafsirkan secara tepat, ayat tersebut bisa menjelaskan betapa segala sesuatu termasuk yang di angkasa luar, bersujud kepada Allah.[15] Tampak jelas bahwa Al- Kindi adalah pelopor dikembangkannya penafsir hermeneutic (takwil) pada ayat taksan (mutasyabihat) dalam Al-Qur’an.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Al-Kindi merupakan pioner dalam melakukan usaha pemaduan antara filsafat dan agama atau antara akal dan wahyu. Ia melempengkan jalan bagi Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd yang datang kemudian atau dapat dikatakan bahwa Al-Kindi telah memainkan peranan yang besar dan penting dalam pentas filsafat Islam.

D.    Filsafat Ketuhanan
Sebagaimana yang telah dikemukakan, kegiatan manusia yang paling mulia adalah mencari dan mengamalkan kebenaran, yaitu berfilsafat, dan filsafat yang paling utama adalah filsafat pertama yang tidak lain dari sebab pertama yakni Tuhan.
Al-Kindi yang membicarakan ketuhanan, antara lain dalam tulisannya fi al- falsafat al-ula dan fi wahdaniyyat al-Allah wa tanahil jiran al-‘a’lam,[16] dari tulisan-tulisan tersebut pandangan Al-Kindi tentang ketuhanan sesuai dengan ajaran Islam dan bertentangan dengan pendapat Plato, Aristoteles dan Plotinus.
Allah bagi Al-Kindi adalah wujud yang sebenarnya, bukan berasal dari tiada kemudian ada, Ia mustahil tidak ada dan selalu ada dan akan selalu ada selamanya, Allah adalah wujud yang sempurna dan tidak didahului wujud yang lain, wujudnya tidak berakhir, sedangkan wujud lain disebabkan wujudnya.[17] Oleh karena itu pencipta (Allah) itu tidaklah banyak, melainkan Maha Esa, tidak terbilang, Maha Suci dan Maha Tinggi, sejauh-jauhnya dalam penyelewengan agama, Dia tidak menyerupai alam ciptaan, karena sifat banyak itu ada secara nyata pada setiap ciptaan dan sifat itu sama sekali tidak ada pada-Nya.[18]
Oleh karena itu berbeda dengan keberadaan alam, Al-Kindi memandang bahwa alam, sebagai ciptaan Allah beredar menurut aturan-Nya (sunatullah) tidak qadim, tetapi mempunyai permulaan, alam diciptakan oleh Allah dari tiada menjadi ada (creation exnihilo) atau menurut istilah yang digunakan (izh- hak alayai’ an laisa)[19]
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa Tuhan bagi Al-Kindi adalah, Yang Maha Esa, dalam arti sesungguhnya, sedangkan Esa-esa yang lain yang terdapat dalam alam, hanyalah dalam arti majazi, keesaan Tuhan tidak mengandung kejamakan, sedangkan esa-esa yang lain tidak sunyi dari kejamakan itu, tiap-tiap benda mempunyai dua hakikat, yaitu hakikat juz’i (individual, disebut aniyah) dan hakikat kulli (umum disebut mahiyah) yaitu hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus (jenis) dan spesies (macam), maka Tuhan dalam filsafat Al-Kindi, tidaklah demikian “Tuhan tidak mempunyai hakikat dalam arti aniyah dan mahiyah” tidak aniah karena Tuhan tidak termasuk dalam benda-benda yang ada dalam alam, bahkan ia adalah pencipta alam. Tuhan tidak tersusun dari materi dan bentuk (hayullah), juga Tuhan tidak mempunyai hakekat dalam bentuk mahiyah karena Tuhan tidak merupakan genus atau spesies, Tuhan hanya satu, tidak ada yang serupa dengan Tuhan. Tuhan adalah unik, Ia adalah yang benar pertama dan yang benar tunggal, Ia semata-mata satu, hanya Ialah yang satu, selain dari Tuhan semuanya mengandung arti banyak”.[20]
Sesuai ajaran paham Islam, Tuhan bagi Al-Kindi adalah pencipta dan bukan penggerak pertama seperti pendapat Aristoteles. Alam bagi Al-Kindi bukan kekal di zaman lampau (qadim) tetapi mempunyai permulaan, karena itu dalam hal ini Ia lebih dekat dengan filsafat platonus yang mengatakan bahwa yang maha satu (tohen) adalah sumber dari alam ini dan sumber dari segala yang ada[21].
Untuk membuktikan adanya Allah, Al-Kindi menggunakan tiga jalan, yaitu:
1.      baharunya alam,
2.      keanekaragaman dalam wujud (katstrah fil mujudat), dan
3.      kerapian alam.[22]
Untuk jalan pertama Al-Kindi memulai jalan pembuktian dengan mengajukan pertanyaan, mungkinkah sesuatu itu menjadi sebab bagi wujud darinya ataukah tidak mungkin? Lalu dia menjawabnya sendiri bahwa, hal itu tidak mungkin karena tidak masuk akal sesuatu menciptakan dirinya sendiri, dengandemikian alam ini adalah baharu (muhdah) dan mempunyai permulaan waktu karena alam ini terbatas. Selanjutnya jalan kedua bahwa alam ini mesti ada penyebab terjadiya karena tidak mungkin ada benda dengan sendirinya, untuk jalan ketigayaitu jalan kerapian Al-Kindi mengatakan bahwa alamlahir tidak mungkin rapi dan teratur kecuali karena adanya zat tidak nampak, zat yang tidak nampak tersebut hanya dapat diketahui dengan melalui bekas-bekas-Nya dan kerapian yang terdapat dalam alam ini.[23]


E.     Jiwa (Al-Nafs)
Kaum filosof Muslim memakai kata jiwa (al-nafs) pada apa yang diistilahkan Alquran dengan al-ruh. Kata ini telah masuk ke dalam bahasa Indonesia dalam bentuk nafsu, nafas, dan roh. Akan tetapi, kata nafsu dalam pemakaian sehari-hari berkonotasi dengan dorongan untuk melakukan perbuatan yang kurang baik sehingga kata ini sering dirangkaikan menjadi satu dengan kata hawa, yakni hawa nafsu.
Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad SAW tidak menjelaskan secara tegas tentang roh atau jiwa. Bahkan Al-Quran sebagai sumber pokok ajaran Islam menginformasikan bahwa manusia tidak akan mengetahui hakikat roh karena itu adalah urusan Allah dan bukan urusan manusia (pada surah Al-Isra’: 85) Justru itu, kaum filosof Muslim membahas jiwa mendasarkannya pada filsafat jiwa yang dikemukakan para filosof Yunani, kemudian mereka selaraskan dengan ajaran Islam.
Sebagaimana jiwa dalam filsafat Yunani, Al-Kindi juga mengatakan bahwa jiwa adalah jauhar basith (tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam, dan lebar). Jiwa mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia. Substansinya berasal dari substansi Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungan cahaya dengan inatahari. Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah, dan berbeda dengan jasad atau badan. Jiwa bersifat rohani.[24]
Argumen tentang bedanya jiwa dengan badan, menurut Al-Kindi ialah jiwa menentang keinginan hawa nafsu. Apabila nafsu marah mendorong manusia untuk melakukan kejahatan, maka jiwa menentangnya. Hal ini dapat dijadikan indikasi bahwa jiwa sebagai yang melarang tentu tidak sama dengan hawa nafsu sebagai yang dilarang.
Al-Kindi menolak pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa jiwa manusia sebagaimana benda-benda, tersusun dari dua unsur, materi dan bentuk. Materi ialah badan dan bentuk ialah jiwa manusia. Hubungan jiwa dengan badan sama dengan hubungan bentuk dengan materi. Bentuk atau jiwa tidak bisa mempunyai wujud tanpa materi atau badan dan begitu pula sebaliknya materi atau badan tidak pula bisa wujud tanpa bentuk atau jiwa. Dalam hal ini pendapat Al-Kindi lebih dekat pada pendapat Plato yang mengatakan bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah kesatuan acciden, binasanya badan tidak membawa binasa pada jiwa.
Al-Kindi juga menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya yaitu daya bernafsu yang terdapat di perut, daya marah yang terdapat di dada, dan daya pikir yang berpusat dikepala.[25] Al-Kindi dalam risalahnya menjelaskan akal. la gambarkan akal sebagai suatu potensi sederhana yang dapat mengetahui hakikat-hakikat sebenarnya dari benda-benda. Akal, menurutnya, terbagi menjadi tiga macam yaitu:[26]
1.      Akal yang selamanya dalam aktualitas. Akal pertama ini berada di luar jiwa manusia, bersifat Ilahi, dan selamanya dalam aktualitas. Karena selalu berada dalam aktualitas, akal inilah yang membuat akal yang bersifat potensi dalam jiwa manusia menjadi aktual. Sifat-sifat akal ini ialah sebagai berikut:
a.       Ia adalah Akal Pertama
b.      Ia selamanya dalam aktualitas
c.       Ia membuat akal potensial menjadi aktual berpikir
d.      Ia tidak sama dengan akal potensial, tetapi lain daripadanya
2.      Akal yang bersifat potensial, yakni akal murni yang ada dalam diri manusia yang masih merupakan potensi dan belum menerima bentuk-bentuk indrawi dan yang akali.
3.      Akal yang bersifat perolehan. Ini adalah akal yang telah keluar dari potensialitas ke dalam aktualitas, dan mulai memperlihatkan pemikiran abstraksinya. Akan perolehan ini dapat dicontohkan dengan kemampuan positif yang diperoleh orang dengan belajar, misalnya tentang bagaimana cara menulis.



BAB III
KESIMPULAN
Al-Kindi, adalah seorang filosof yang berusaha mempertemukan agama dengan filsafat. Ia berupaya membuktikan bahwa berfilsafat tidak dilarang. Sebagai filosof islam pertama yang menyelaraskan agama dengan filsafat, ia telah melicinkan jalan bagi filosof sesudahnya, seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd.
Al-Kindi mengatakan bahwa kebenaran yang diberitakan wahyu tidaklah bertentangan dengan kebenaran yang dibawa oleh filsafat, karena filsafat adalah pengetahuan tentang yang benar.
Filsafat ketuhanan dalam pandangan Al-Kindi adalah bahwa Tuhan adalah wujud yang sebenarnya, buka berasal dari tiada menjadi ada. Allah mustahil tidak ada dan selalu ada dan akan ada selamanya. Allah adalah wujud yang sempurna dan tidak didahului wujud lain.
Menurut Al-Kindi jiwa adalah jauhar basith yaitu tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam dan lebar, jiwa mempunyai arti yaitu sempurna, jiwa mempunyai wujud tersendiri terpisah dan berbeda dengan badan.



DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Houve, 2002.

Amin, Miska Muhammad, Epistemologi Islam, Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam, Jakarta : UI Press, 1983.

Bagir, Haidar, Buku Saku Filsafat, Bandung : Arasy, 2005.

Daradjat, Amroni, Suhrawardi : Kritik Filsafat Paripetik, Jakarta : LKIS, 2005.

Fakhry, Madjid, A Short Introduction to Islamic Philosofhy,Teology and Misticisme, terj. Zainun Am, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, Bandung : Mizan, 2001.

Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.


Majid, Nurcholis, Khazanah Intelektual Muslim, Jakarta : Bulan Bintang, 1989.

Praja, Juhaya S, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam dan Penerapannya di Indonesia, Jakarta : Teraju, 2002.

Rasyidi, H. M., Islam untuk Disiplin Ilmu Filsafat, ,Jakarta : Bulan Bintang, 1980.

Zar, Sirajudin, Filsafat Islam: Filosof dan filsafatnya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.







[1]Sirajudin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 37.
[2]Madjid Fakhry, A Short Introduction to Islamic Philosofhy,Teology and Misticisme, terj. Zainun Am, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, (Bandung : Mizan, 2001), Cet. I h.26
[3]Ibid.
[5]Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat, (Bandung : Arasy, 2005), h. 104
[6]Amroni Daradjat, Suhrawardi : Kritik Filsafat Paripetik, (Jakarta : LKIS, 2005), cet. I, h. 113
[7]Juhaya S Praja, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam dan Penerapannya di Indonesia, (Jakarta : Teraju, 2002), h. 197
[8]Madjid Fakhry, loc.cit.
[9]Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Houve, 2002) h. 180
[10]Juhaya S Praja, op.cit. h. 196
[11]Miska Muhammad Amin, Epistemologi Islam, Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam, (Jakarta : UI Press, 1983), h. 38
[12]Ibid, h. 39
[13]Sirajuddin Zar, op.cit, h. 45
[14]Ibid., h. 47
[15]Madjid Fakhry, Op.Cit., h. 29
[16]Sirajuddin Zar, Op.Cit.,h. 50
[17]Ibid
[18]Nurcholis Majid, Khazanah Intelektual Muslim, Jakarta : Bulan Bintang, 1989), Cet. III, h. 94
[19]Sirajuddin Zar, op.cit, h. 52
[20]Harun Nasution, loc.cit, h.16
[21]Ibid, h. 17
[22]Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), Cet. V, h. 17
[23]H. M. Rasyidi, Islam untuk Disiplin Ilmu Filsafat, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980), h. 9
[24]Sirajudin Zar, Op.cit, h. 59.         
[25]Ibid., h. 60.
[26]Ibid, h. 61-62.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Perkembangan Turki Abad 21

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Masalah Orang-orang Turki merasa lekat dengan agama yang mereka anut semenjak berabad-abad la...