Senin, 04 April 2016

PEMIKIRAN FILSAFAT AL-FARABI

PEMIKIRAN FILSAFAT AL-FARABI

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Al-Farabi adalah seorang komentator filsafat Yunani yang sangat ulung di dunia Islam. Meskipun kemungkinan besar ia tidak bisa berbahasa Yunani, ia mengenal para filsuf Yunani; Plato, Aristoteles dan Plotinus dengan baik. Kontribusinya terletak di berbagai bidang seperti matematika, filosofi, pengobatan, bahkan musik. Al-Farabi telah menulis berbagai buku tentang sosiologi dan sebuah buku penting dalam bidang musik, Kitab al-Musiqa. Ia dapat memainkan dan telah menciptakan bebagai alat musik.
Al-Farabi muda belajar ilmu-ilmu islam dan musik di Bukhara. Setelah mendapat pendidikan awal, Al-farabi belajar logika kepada orang Kristen Nestorian yang berbahasa Suryani, yaitu Yuhanna ibn Hailan. Pada masa kekhalifahan Al-Muta'did tahun 892-902M, Al-farabi dan Yuhanna ibn Hailan pergi ke Baghdad dan Al-farabi unggul dalam ilmu logika. Al-Farabi selanjutnya banyak memberi sumbangsihnya dalam penempaan filsafat baru dalam bahasa Arab. Pada kekahlifahan Al-Muktafi tahun 902-908M dan awal kekhalifahan Al-Muqtadir pada tahun 908-932M Al-farabi dan Ibn Hailan meninggalkan Baghdad menuju Harran. Dari Baghdad Al-Farabi pergi ke Konstantinopel dan tinggal di sana selama delapan tahun serta mempelajari seluruh silabus filsafat.
Al-Farabi dikenal sebagai "guru kedua" setelah Aristoteles. Dia adalah filosof islam pertama yang berupaya menghadapkan, mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu. Karyanya yang paling terkenal adalah Al-Madinah Al-Fadhilah (Kota atau Negara Utama) yang membahas tetang pencapaian kebahagian melalui kehidupan politik dan hubungan antara rezim yang paling baik menurut pemahaman Plato dengan hukum Ilahiah islam

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana riwayat hidup dan Apa saja karya-karya Al-Farabi ?
2.      Bagaimana mempertemukan agama dan filsafat menurut Al-Farabi?
3.      Bagaimana filsafat ketuhanan dan emanasi menurut Al-Farabi ?
4.      Bagaimana filsafat al-nafs menurut Al-Farabi ?
5.      Bagaimana filsafat kenabian menurut Al-Farabi ?
6.      Bagaimana filsafat al-madinah al-fadillah Al-Farabi ?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi dan Karya Al-Farabi
Al-Farabi memiliki nama lengkap yaitu Abi Nashr Ibnu Audagh Ibn Thorban Al-Farabi, ia dilahirkan di Desa Wasij, Kota Farab (Transoxania) pada tahun 257 H (870 M). Beliau adalah seorang muslim keturunan Persia, ayahnya Muhammad Auzlaghadalah seorang Panglima Perang Persia yang kemudian menetap di Damsyik dan Ibunya berasal dari Turki. Al-Farabi melewatkan masa remajanya di Farab. Di kota yang mayoritas mengikuti mazhab Syafi’iyah, disanalah Al-Farabi menerima pendidikan dasarnya. sejak kecil Al-Farabi suka belajar dan ia mempunyai kecakapan yang luar biasa dalam bidang bahasa. Bahasa yang dikuasainya, anatara lain bahasa Iran, Turkestan, dan Kurdistan. Munawir Sjadzali mengatakan bahwa Al-Farabi dapat berbicara dalam tujuh puluh macam bahasa; tetapi yang dia kuasai dengan aktif, hanya empat bahasa: Arab, Persia, Turki dan Kurdi[1]. Pada masa awal pendidikannya ini, Al-Farabi belajar Al-Qur’an, Tata-bahasa, kesusastraan, ilmu-ilmu agama ( fiqih, Tasir dan Ilmu Hadits) dan Aritmatika dasar.
Pada masa inilah Al-Farabi pindah ke  Bukhara untuk menempuh studi lanjut fiqh dan ilmu-ilmu lanjut lainnya. Pada masa inilah Al-Farabi mulai berkenalan dengan bahasa dan budaya serta filsafat persia. Juga di Bukhara inilah Al-Farabi pertama kali belajar tentang musik. Kepakaran Al-Farabi di bidang musik dibuktikan dengan karyanya yang berjudul Kitab al-Musiqa al-Kabir atas permintaan Abu Ja’far Muhammad Ibn al-Qasim, Wazir Khalifah Al-Rhadi tahun 936 M[2].
Al-Farabi pernah menjadi qadhi. Setelah melepaskan jabatan qadhinya, Al-Farabi kemudian berangkat ke Merv untuk mendalami logika Aristotelian dan filsafat. Guru utama Al-Farabi adalah Yuhanna Ibn Hailan. Di bawah bimbingannya, Al-Farabi membaca teks-teks dasar logika Aristotelian, termasuk Analitica Posteriora yang belum pernah dipelajari seorang muslim pun sebelumnya di bawah bimbingan guru khusus. Pada waktu mudanya, Al-Farabi pernah belajar bahasa dan sastra Arab di Bagdad kepada Abu Bakar As-Saraj, dan logika serta filsafat kepada Abu Bisyr Mattius Ibn Yunus seorang filosof Nestorian yang banyak menerjemahkan filsafat Yunani, memiliki reputasi tinggi dalam bidang filsafat dan mampu menarik minat banyak orang dalam kuliah-kuliah umumnya tentang logika Aristotelian.
Setelah itu ia pindah ke Harran salah satu pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil, dan berguru kepada Yuhana Ibn Jilad.  Tetapi tidak lama kemudian ia meninggalkan kota itu dan kembali ke Bagdad untuk mendalami filsafat sesudah ia menguasai ilmu mantik (logika), dan di Bagdad ia menetap selama 20 tahun. Selama waktu itu ia memakai waktunya untuk mengarang, memberikan pelajaran dan mengulas buku-buku filsafat. Muridnya yang terkenal pada masa ini antara lain ialah Yahya bin Adi, filsuf Kristen.[3]
Pada tahun 330 H (941 M) ia pindah ke Damaskus, dan berkenalan dengan Saif Ad-Daulah Al-Hamdani, Sultan Dinasti Hamdan do Allepo. Sultan memberinya kedudukan sebagai seorang ulama istana dengan tunjangan yang besar sekali, dan Al-Farabi mendapat perlindungan. Tetapi Al-Farabi lebih memilih hidup sederhana (zuhud) dan tidak tertarik pada kemewahan dan kekayaan. Ia hanya memerlukan empat dirham saja sehari untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selanjutnya, sisa tunjangan jabatan yang diterimanya, dibagi-bagikan kepada fakir miskin dan amal sosial di Allepo dan Damaskus.
Hal yang menggembirakan dari ditempatkannya Al-Farabi di Damaskus adalah Al-Farabi bertemu dengan sastrawan, penyair, ahli bahasa, ahli fiqh, dan kaum cendikiawan lainnya. Lebih kurang 10 tahun, Al-Farabi tinggal di Allepo dan Damaskus secara berpindah-pindah akibat hubungan penguasa ini semakin memburuk, sehingga Saif Ad-Daulah menyerbu kota Damaskus yang kemudian berhasil menguasainya. Dalam penyerbuan ini Al-Farabi diikutsertakan. Pada bulan Desember 950 M (339 H) , Al-farabi meninggal dunia di damaskus dalam Usia 80 tahun[4].
Al-Farabi, hampir sepanjang hidupnya terbenam dalam dunia ilmu, sehingga tidak dekat dengan penguasa-penguasa Abbasiyah pada waktu itu. Saking gemarnya Al-Farabi dengan dunia ilmu dan kegemarannya dalam membaca dan menulis, ia sering membaca dan menulis di bawah sinar lampu penjaga malam.
Al-Farabi yang dikenal sebagai filsuf Islam terbesar, memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta mengupasnya denga  sempurna. Sehingga filsuf yang datang sesudahnya, seperti Ibnu Sina (370 H/980 M – 428 H/1037 M) dan Ibnu Rusyd (520 H/1126 M – 595 H /1198 M) banyak mengambil dan mengupas sistem filsafatnya. Pandangannya yang demikian mengenai filsafat, terbukiti dengan usahanya untuk mengakhiri kontradiksi antara pemikiran Plato dan Aristoteles lewat risalahnya Al-Jam’u baina Ra’yay Al-Hakimain Aflathun Wa Aristhu.
Pada abad pertengahan, Al-Farabi sangat dikenal sehingga orang-orang Yahudi banyak yang mempelajari karangan-karangan/risalah-risalahnya yang disalin ke dalam bahasa Ibrani. Sampai sekarang, salinan tersebut masih tersimpan di perpustakaan-perpustakaan Eropa.
Al-Farabi hidup pada zaman ketika situasi politik dan kekuasaan Abbasiyah di guncang oleh berbagai gejolak, pertentangan, dan pemberontakan. Al-Farabi lahir pada masa pemerintahan Al-Mu’taaddid (870-892 M) dan meninggal pada masa pemerintahan Muti. Suatu periode paling kacau dan tidak ada stabilitas politik sama sekali. Pada waktu itu, timbul banyak macam tantangan, bahkan pemberontakan terhadap kekuasaan Abbasiyah dengan berbagai motif : Agama, kesukuan, dan kebendaan.
Diperkirakan erat kaitannya dengan situasi politik yang demikian kisruh, Al-Farabi menjadi gemar berkhalwat, menyendiri dan merenung. Ia merasa terpanggil untuk mencari pola kehidupan bernegara dan bentuk pemerintahan yang ideal.[5]
Di antara pemikiran al-Farabi dituliskan menjadi sebuah karya, namun ciri khas karyanya al-Farabi bukan saja mengarang kitab-kitab besar atau makalah-makalah, ia juga memberikan ulasan-ulasan serta penjelasan terhadap karya Aristoteles, Iskandar Al-Dfraudismy dan Plotinus. Di antara ulasan al-Farabi terhadap karya-karya mereka adalah sebagai berikut:
1.      Ulasannya terhadap karya Aristoteles: Burhan (dalil), Ibarat (keterangan), Khitobah (cara berpidato), Al-Jadal (argumentasi/berdebat), Qiyas (analogi), Mantiq (logika)
2.      Ulasannya terhadap karya Plotinus  ”Kitab al-Majesti fi-Ihnil Falaq”,
3.      Ulasannya terhadap karya Iskandar Al Dfraudisiy tentang ”Maqalah Fin-nafsi”.
Sedangkan karya-karya nyata dari al-Farabi lainnya :
1.      Al-Jami’u Baina Ra’yani Al-Hkiman Afalatoni Al Hahiy wa Aristho-thails (pertemuan/penggabungan pendapat antara Plato dan Aristoteles),
2.      Tahsilu as Sa’adah (mencari kebahagiaan),
3.      As Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan),
4.      Fususu Al Taram (hakikat kebenaran),
5.      Arro’u Ahli Al Madinati Al Fadilah (pemikiran-pemikiran utama pemerintahan),
6.      As Syiasyah (ilmu politik),
7.      Fi Ma’ani Al Aqli,
8.      Ihsho’u Al Ulum (kumpulan berbagai ilmu),
9.      At Tangibu ala As Sa’adah
10.  Isbatu Al Mufaraqat,
11.  Al Ta’liqat.[6]


B.     Agama dan Filsafat
Al-Farabi menyelesaikan masalah tersebut dengan konsepnya tentang intelek aktif. Al-farabi dianggap sebagai orang pertama yang memberikan kajian secara mendalam dan sistematis tentang persoalan wahyu dan rasio. Kata wahyu (wahy) dipakai dalam dua pengertian oleh al-Farabi. Pertama, wahyu sebagai ma’rifah (gnosis), yaitu pengetahuan tertinggi dalam mengetahui objek-objek intelegensi natural (al-ma’qulat al-thabi’iyah) yang dapat didefinisikan sebagai eksistensi-eksistensi yang tidak dapat dirubah dari satu kondisi ke kondisi lainnya. Kedua, wahyu sebagai hikmah (kebijaksnaan) yang didefinisikan sebagai “pengetahuan tertinggi tentang eksistensi-eksistensi yang paling utama”. Melalui hikmah ini, manusia mampu mengetahui kebahagiaan yang hakiki. Al-Farabi menyatakan bahwa orang yang menerima wahyu (nabi) berarti telah menerima ma’rifah dan hikmah, sehingga ia juga menyatakan bahwa nabi adalah seorang ahli filosof dan ahli hikmah, sedangkan seorang filosof dan ahli hikmah belum tentu seorang nabi.
Dalam pandangannya, wahyu adalah sejenis proses pemahaman kosmik yang melalui intelek aktif untuk memehami essensi dari Sebab Pertama dan sebab-sebab sekunder (prinsip-prinsip benda langit) dengan mempunyai visi tentang Tuhan dan seluruh alam ruh. Namun, karena wahyu juga harus disampaikan kepada manusia, maka dari titik sang penerima, wahyu mengandung dua dimensi: teoritis (realitas-realitas spiritual dan intelektual seperti yang dilihat dan dipahami oleh nabi sendiri) dan praktis (undang-undang atau kebijaksanaan praktis yang disampaikan kepada manusia demi tercapainya kebahagiaan
Ada tiga jenis intelek yang terlibat dalam hal ini. Pertama, intelek aktual yang bertindak mengaktualkan objek-objek pengetahuan potensial (ma’qul bi al quwwah). Kedua, intelek perolehan yang didapat nabi ketika bersatu dengan intelek aktif. Dalam hal ini, intelek perolehan bertindak sebagai agen yang menerima pengetahuan transenden dari intelek aktif. Ketiga, intelek aktif sebagai perantara antara Tuhan dan manusia. Proses pewahyuan sendiri dimulai, pertama-tama, dari pelatihan-pelatihan lewat tahap-tahap aktualisasi seperti yang dilakukan oleh orang lain. Namun, seperti kutipan diatas, seorang nabi bukan orang biasa melainkan merupakan sosok yang diberi kemampuan intelektual yang luar biasa (fathanah), sehingga tidak membutuhkan pelatihan-pelatihan dari seorang guru atau pembimbing, cukup mengembangkan sendiri lewat bantuan kekuatan Ilahi Bakat luar biasa yang ada dalam nabi, yang kemudian berkembang pesat dalam pelatihan adalah daya imajinasi (khayal). Menurut al-Farabi, nabi dikaruniai daya imajinasi yang begitu sempurna jauh diatas orang lain Ketika kemampuan imajinatif telah mampu menerima dan melambangkan kebenaran-kebenaran hakiki, berarti telah memperoleh intelek perolehan dan mampu berhubungan dengan intelek aktif; disitulah terjadinya proses pewahyuan dan muncul seorang nabi
Menurut Laeman, daya imajinasi pada hakikatnya bekerja dan berada dalam posisi perantara antara akal teoritis dan praktis. Dalam kaitannya denga akal teoritis, daya imajinasi berfungsi untuk menerjemahkan dan merubah kebenaran rasional dari intelek aktif dari masa lalu, sekarang, dan masa yang aka datang, dan juga ide-ide abstrak dan proposisi-proposisi, menjadi bahasa-bahasa simbol atau perumpamaan. Sedangkan kaitannya dalam akal praktis, daya imajinasi berfungsi untuk “penebak” yang tepat untuk kejadian-kejadian masa depan seperti yang terjadi dalam mimpi. Sehingga, kesimpulan-kesimpulan dapat diperoleh secara cepat. Dengan demikian, dalam pandangan al-Farabi, wahyu dapat ditangkap dan terjadi setelah seseorang mencapai intelek perolehan, dan intelek perolehan sendiri dapat diperoleh melalui latihan-latihan intelek aktual dengan bantuan daya imajinasi.
Meski demikian, al-Farabi tetap membedakan antara wahyu yang diperoleh nabi dengan hasil renungan para filosof. Pertama, penerimaan wahyu oleh nabi bukan hanya melibatkan intelek melainkan juga daya kognitif lainnya, sedangkan dalam perenungan filosofis, hanya mengandalkan logika dan intelek (al-aql al-kulli). Kedua, nabi tidak memerlukan aktifitas atau pelatihan-pelatihan yangyang melibatkan indera-indera internal atau ekternal, karena nabi telah diaugerahi bakat intelektual yang luar biasa,sepeerti yang telah dijelaskan diatas, sedangkan para filosof memerlukan pengembangan dan latihan-latihan, baik secara indera-indera internal maupun eksternal.
Dengan demikian, al-Farabi menyelesaikan persoalan wahyu dan rasio lewat konsepnya tentang intelek aktif (al-aql al-fa’al)[7].

C.    Emanasi dan Filsafat Ketuhanan
1.      Emanasi
Emanasi ialah teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam makhluk) dari Zat yang wajibul wujud (Zat yang mesti adanya: Tuhan). Teori emanasi disebut juga dengan nama “teori urut-urutan wujud”. Menurut al-Farabi, Tuhan adalah pikiran yang bukan berupa benda.[8]
Konsep ini erat kaitannya dengan teori wujud (eksistensi) yang oleh al-Farabi dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
1.      Wujud yang mungkin ada karena lainnya (mumkin al-Wujub). Seperti wujud cahaya yang tidak akan ada kalau sekiranya tidak ada matahari. Cahaya itu sendiri menurt tabi’atnya bisa wujud dan bisa pula tidak. Karena matahari telah wujud, maka cahaya itu menjadi wujud disebabkan wujudnya matahari. Wujud yang mungkin ini menjuadi bukti adanya sebab yang pertama, karena segala yang mungkin harus berakhir pada suatu wujud yang nyata dan pertama kali ada.
2.      Wujud yang ada dengan sendirinya ( wajib al-wujud). Wujud ini adalah wujud yang tabi’atnya itu sendiri menghendaki wujudnya. Kalau ia tidak ada, maka yang lainpun tidak akan ada sama sekali, ia adalah sebab pertama bagi semua wujud yang ada. Dan wujud yang wajib ada inilah Tuhan.[9]
Berdasarkan konsep ini, al-Farabi berpendirian, bahwa seluruh yang ada (maujud) tidak terlepas dari keadaan wajibul wujud atau mumkin wujud. Yang mumkinul wujud lahir karena ada sebab, sedangkan yang wajibul wujud adalah ada dengan tidak bersebab, ia memiliki zat yang agung dan sempurna, ia memiliki kesanggupan mencipta dalam keseluruhan sejak azali. Sesuai dengan firman Allah dalam Surat Yasin ayat 82.
!$yJ¯RÎ) ÿ¼çnãøBr& !#sŒÎ) yŠ#ur& $º«øx© br& tAqà)tƒ ¼çms9 `ä. ãbqä3uŠsù ÇÑËÈ
Terjemahnya:
”Sesungguhnya segala urusan-Nya apabila dia menghendaki sesuatu hanyalah Berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia[10].

Al-Farabi berpendapat Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama (al wujudul awwal) dan dengan pemikirannya itu timbul wujud kedua (al wujudul tsani) yang juga mempunyai substansi. Ia disebut akal pertama (al aqlu awwal) yang tidak bersifat materi. Sedangkan wujud kedua berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran inilah timbul wujud ketiga (wujudul tsalis) disebut Akal Kedua (al aqlu tsani).
Lebih lanjut, urutan-urutan emanasi al-‘Aqil itu dapat digambarkan sebagai berikut :
1.      Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya hingga timbullah Langit Pertama (al-Asmaul awwal),
2.      Wujud III / Akal kedua menimbulkan Wujud  IV/Akal Ketiga yakni bintang-bintang),
3.      Wujud IV/Akal Ketiga menimbulkan Wujud V/Akal Keempat, yakni Planet Saturnus,
4.      Wujud V/Akal Keempat menimbulkan Wujud VI/Akal Kelima, yakni Planet Jupiter,
5.      Wujud VI/Akal Kelima menimbulkan Wujud VII/Akal Keenam, yakni Planet Mars,
6.      Wujud VII/Akal Keenam menimbulkan Wujud VIII/Akal Ketujuh, yakni Matahari,
7.      Wujud VIII/Akal Ketujuh menimbulkan Wujud IX/Akal Kedelapan,yakni Planet Venus,
8.      Wujud IX/Akal Kedelapan menimbulkan Wujud X/Akal Kesembilan, yakni Planet Mercurius,
9.      Wujud X/Akal Kesembilan menimbulkan Wujud XI/Akal Kesepuluh, yakni Bulan.
Wujud yang dimaksud adalah Wujud Tuhan. Pada pemikiran Wujud XI/Akal Kesepuluh, berhentilah terjadinya atau timbulnya akal-akal. Tetapi dari Akal Kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi yang menjadi dasar dari keempat unsur, yaitu api, udara, air, dan tanah.[11]
Sebuah pertanyaan, mengapa jumlah akal dibataskan kepada bilangan sepuluh? Hal ini disesuaikan dengan bilangan bintang yang berjumlah sembilan. Selain itu, ditiap-tiap akal diperlukan satu planet pula, kecuali akal pertama yang tidak disertai sesuatu planet ketika keluar dari Tuhan. Tetapi mengapa jumlah bintang tersebut ada 9 (sembilan)? Karena jumlah benda-benda angkasa menurut Aristoteles ada tujuh. Kemudian barulah al-Farabi menambah dua lagi, yaitu benda langit yang terjauh dan bintang-bintang tetap. Ia menyatakan bahwa jumlah akal ada sepuluh , sembilan di antaranya untuk mengurus benda-benda langit yang sembilan, sedangkan akal sepuluh yaitu akal bulan yang mengawasi dan mengurusi kehidupan dibumi. Akal itu saling berurutan, maka pada Tuhan, yaitu Wujud Pertama yang hanya terdapat pada satu objek pemikiran yaitu zat-Nya saja. Tetapi pada akal-akal tersebut terdapat dua objek pemikiran yaitu Tuhan dan diri akal itu sendiri. Pemikiran akal pertama dalam kedudukannya sebagai Wajibul Wujud karena Tuhan, dan sebagai Wujud yang mengetahui Tuhan, keluarlah akal kedua dan seterusnya.[12]
2.      Sifat Tuhan
Dalam metafisikanya tentang ketuhanan Al-Farabi hendak menunjukkan keesaan Tuhan dan ketunggalan-Nya. Juga dijelaskan pula mengenai kesatuan antara sifat dan zat (substansi) Tuhan. Sifat Tuhan tidak berbeda dari zat-Nya. Karena Tuhan adalah tunggal. Juga zat Tuhan menjadi obyek pemikiran sendri (ma’qul), karena yang mengahalang-halangi sesuatu untuk menjadi obyek pemikiran ialah benda itu pula. Jadi ia adalah obyek pemikiran, karena ia adalah akal pikiran. Ia tidak membutuhkan sesuatu yang lain untuk memikirkan Zat-Nya sendiri tetapi cukup dengan Zat-Nya itu sendiri pula untuk menjadi obyek pikiran[13].
Tuhan juga adalah Zat yang MahaMengetahui (‘alim) tanpa memerlukansesuatu yang lain untuk dapat mengetahui. Jadi Tuhan cukup dengan zat-Nya sendiri untuk mengetahui dan diketahui. Ilmu (pengetahuan) Tuhan terhadap diri-Nya tidak lain hanyalah zatnya sendiri juga. Dengan demikian, maka ilmu dan zat yang mempunyai ilmu adalah satu juga.
Jadi menurut Al-farabi tidak ada perbedaan antara sifat Tuhan dengan zat (substansi) Tuhan, sifat Tuhan yang berarti juga substansi Tuhan. Tuhan sendiri sebenarnya akal, sebab segala sesuatu yang tidak membutuhkan benda, maka sesuatu itu benar-benar akal. Begitu pula denga wujud yang pertama (Tuhan). Zat (substansi) Tuhan yang satu itu adalah akal (pikiran). Akal adalah zat (substansi) yang berfikir, tetapi sekaligus juga menjadi obyek pemikiran Tuhan sendiri.
3.      Pembuktian Adanya Tuhan
Dalam membuktikan adanya Tuhan ada beberapa dalil yang dapat digunakan sebagai dalil ontologi, dalil teologi dan kosmologi. Para pemikir Yunani menggunakan dalil-dalil tersebut(ontologi, teologi dan kosmologi) untuk samapai kepada kesimpulan adanya Tuhan. Hal seperti itu diikuti pula oleh para pemikir Islam. Diantar dalil yang banyak dipakai adalah dalil ciptaan atau dalil kosmologi menurut istilah metofisika.
Dalil kosmologi melihat alam sebagai makhluk suatu akibat yang terakhir dalam rangkaian sebab akibat. Pada akhirnya hubungan sebab akibat akan berhenti pada satu sebab pertama, karena pada dasarnya kita tidak dapat memikirkan adanya rentetan sebab akibat yang tidak berkesudahan (berkeputusan). Al-Farabi dalam membuktikan adanya Tuhan menggunakan dalil penciptaan ini.
Segala sesuatu yang ada, pada dasarnya hanya mempunyai dua keadaan, pertama asda sebagai kemungkinan disebut wujud yang mungkin, kedua ada sebagai keharusan disebut dengan wujud yang wajib. Dalam keadaan yang pertama adanya ditentukan oleh ada yang lain, dan keadaan yang kedua adanya tanpa sesuatu yang lain ada dengan sendirinya dan sebagai keharusan.
Pembuktian dengan dalil kosmologi seperti yang dilakukan oleh Al-Farabi termasuk dalil yang sederhana mudah dimengerti, tetapi kelemahan dalil ini berpangkal dari suatu keyakianan yang mengharuskan adanya Tuhan[14].

D.    Al-Nafs (Jiwa)
Pada umumnya para filosof Muslim mengikuti aliran Aristoteles dalam hal jiwa manusia, yaitu berupa daya makan, daya indra, dan daya pikir. Al-Farabi membagi jiwa menjadi tiga bagian:
1.      Jiwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya makan, tumbuh dan berkembang biak.
2.      Jiwa binatang yang mempunyai daya gerak, pindah dari satu tempat ke tempat, dan daya menangkap dengan panca indra, yang terbagi dua: (a) Indra luar, yaitu pendengaran, penglihatan, rasa dan raba. Dan (b) Indra dalam yang berada di otak dan terdiri dari: i. Indra bersama yang menerima kesan-kesan yang diperoleh pancaindra; ii. Indra penggambar yang melepaskan gambar-gambar dari materi; iii. Indra pereka yang mengatur gambar-gambar ini; iv. Indra penganggap yang menangkap arti-arti yang terlindung dalam gambar-gambar tersebut; v. Indra pengingat yang menyimpan arti-arti.
3.      Jiwa manusia, yang mempunyai hanya satu daya, yaitu berfikir yang disebut akal. Akal terbagi dua: a. Akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indra pengingat yang ada dalam jiwa binatang. b. Akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh dan malaikat.
Al-Farabi menjelaskan bahwa manusia mempunyai lima kemampuan atau daya. Pertama, kemampuan untuk tumbuh yang disebut daya vegetatif sehingga memungkinkan manusia berkembang menjadi besar dan dewasa. Kedua, daya mengindera, sehingga memungkinkan manusia dapat menerima rangsangan seperti panas, dingin dan lainnya. Daya ini membuat manusia mampu mengecap, membau, mendengar dan melihat warna serta objek-objek penglihatan lain. Ketiga, daya imajinasi sehingga memungkinkan manusia masih tetap mempunyai kesan atas apa yang dirasakan meski objek tersebut telah tidak ada lagi dalam jangkauan indera. Daya ini juga mempunyai kemampuan untuk menggabungkan atau memisahkan kesan-kesan yang diterima dari indera sehingga menghasilkan kombinasi atau potongan-potongan. Hasilnya bisa benar atau salah. Keempat, daya berpikir yang memungkinkan manusia untuk memahami berbagai pengertian sehingga dapat membedakan antara yang satu dengan lainnya, kemampuan untuk menguasai ilmu dan seni. Kelima, daya rasa yang membuat manusia mempunyai kesan dari apa yang dirasakan: suka atau tidak suka.[15]
Pengetahuan manusia, menurut al-Farabi, diperoleh lewat tiga daya yang dimiliki, yaitu daya indera, daya imajinasi dan daya pikir, yang masing-masing disebut sebagai indera eksternal, indera internal dan intelek. Tiga macam indera ini merupakan sarana utama dalam pencapaian keilmuan.
"Konsep psikologi" al-Farabi, jika diistilahkan demikian, sungguh sangat modern dan “manusiawi”. Menurutnya, manusia tidak hanya merangkum potensi-potensi tumbuhan (vegetatif) dan binatang (animal) sehingga ia dapat tumbuh dan berkembang, tetapi yang terpenting adalah potensi-potensi nalar (rasional). Lebih dari itu, manusia juga mempunyai potensi intelek  sehingga mampu melepaskan diri dari kungkungan dunia material untuk selanjutnya menjangkau realitas-realitas metafisis non-material. Bahkan, intelek ini pulalah yang mampu mengantarkan manusia “bertemu” dengan Tuhannya. Disinilah nilai utama seorang manusia dibanding makhluk lain.[16]

E.     Filsafat Kenabian
Selain filsafat emanasi, al Farabi juga terkenal dengan filsafat kenabian dan filsafat politik kenegaraannya. Dalam hal filsafat kenabian, al Farabi disebut sebagai filusuf pertama yang membahas soal kenabian secara lengkap. Al Farabi berkesimpulan bahwa para nabi / rasul maupun para filusuf sama-sama dapat berkomunikasi dengan akal Fa’al, yakni akal ke sepuluh (malaikat). Perbedaannya, komunikasi nabi/rasul dengan akal kesepuluh terjadi melalui perantaraan imajinasi (al mutakhayyilah) yang sangat kuat, sedangkan para filusuf berkomunikasi dengan akal kesepuluh malalui akal Mustafad, yaitu akal yang mempunyai kesanggupan dalam menangkap inspirasi dari akal kesepuluh yang ada diluar diri manusia.
Dalam perjalanannya, pembahasan mimpi tidaklah didominasi oleh satu kelompok ataupun satu bidang disiplin ilmu saja. Tetapi meluas ke berbagai bidang disiplin ilmu, misalnya filsafat, psikologi, agama, dan lain-lain. Hal ini menandakan bahwa tema mimpi memang merupakan tema yang menarik dan selalu aktual untuk dijadikan bahan kajian. Karena tentunya, banyak orang dengan segala jenis kelompok usia dan golongan lapisan sosialnya hingga saat ini masih mengalami mimpi.[17]
Aristoteles berpendapat bahwa proses inderawi menimbulkan berbagai pengaruh yang tetap bertahan pada alat indera eksternal. Lalu, pengaruh itu pindah ke pusat indera bagian dalam yang terletak di hati dengan perantara darah, sehingga menyebabkan terjadinya fantasi dan mimpi. tetapi Aristoteles menolak bahwa mimpi berasal dari tuhan, dan menolak peramalan-peramalan yang dilakukan oleh para nabi melalui tidur, jika tidak demikian, maka massa yang banyak mengalami mimpi akan mengklaim bisa meramalkan masa depan.[18]
Pendapat Al Farabi berbeda dengan pendapat Aristoteles dan menyatakan bahwa melalui imajinasi manusia dapat berhubungan dengan intelegensi agen, tapi hal ini hanya bagi pribadi-pribadi pilihan. Intelegensi agen adalah sumber hukum dan inspirasi ketuhanan. Hal itu serupa dengan malaikat yang diberi tugas untuk menyampaikan wahyu sebagaimana dalam ajaran islam. Kemampuan berhubungan dengan intelengensi agen terdapat pada nabi dan filosof, kalau nabi dengan imajinasinya sedang filosof dengan spekulasi dan perenungan. Dapat dimengerti bahwa keduanya berdasarkan pada sumber yang sama dan memperoleh pengetahuan dari atas.[19]
Selain wahyu, impian juga merupakan alat perhubungan dengan Tuhan , karena jiwa yang suci pada waktu tengah tidur naik kealam gaib, dan disana ia melihat rahasia-rahasianya. Nabi saw mulai dakwahnya telah melihat impian-impian, sebagai tanda akan dimulainya tugas-tugas yang dibebankan kepadanya. Begitu penting kedudukan impian, sehingga ada surat di dalam al-Qur’an dimana seluruh pembicaraannya berkisar sekitar impian, yaitu surat Yusuf. Nabi Muhammad saw juga mengatakan tentang impian, impian yang benar merupakan satu bagian dari 46 bagian kenabian.[20]
Persoalaan kenabian yang lain adalah bagaimana pengaruh imajinasi terhadap impian dan pembentukannya, sebab apabila soal impian ini bisa ditafsirkan secara ilmiah, maka soal kenabian dan kelanjutannya bisa ditafsirkan pula. Sebagaimana dimaklumi, ilham-ilham kenabian adakalanya terjadi pada waktu tidur atau pada waktu jaga, atau dengan perkataan lain, dalam bentuk impian yang benar atau wahyu. Perbedaan antara kedua cara ini bersifat relatif dan hanya mengenai tingkatannya, tetapi tidak mengenai esensinya (hakikatnya). Impian yang benar tidak lain adalah salah satu cabang kenabian yang erat hubungannya dengan wahyu dan tujuannya juga sama, walaupun berbeda caranya. Jadi apabila kita dapat menerangkan salah satunya, maka dapat pula menerangkan yang lain.
Al-Farabi menerangkan bahwa imajinasi jika telah terlepas perbuatan-perbuatan diwaktu berjaga, maka disaat sedang tidur ia mempergunakan sebagian fenomena psikologis. Kemudian ia menciptakan ilustrasi-ilustrasi baru atau mengumpulkan ilustrasi-ilustrasi konsepsional yang telah ada sebelumnya dalam berbagai bentuk, dengan cara menirukan dan terpengaruh oleh sebagian penyerapan inderawi dan perasaan jasmaniah atau emosi-emosi psikologis dan persepsi-persepsi rasional. Karena imajinasi suatu potensi kreatif yang mampu menciptakan, mewujudkan, serta mengilustrasikan dan membentuk.  Imajinasi mempunyai  kemampuan besar untuk menirukan dan daya mempengaruhi, maka semua kondisi anggota tubuh, psikologis, bahkan penyerapan dari orang yang sedang tidur mempunyai pengaruh yang jelas di dalam imajinasinya kemudian di dalam pembentukan mimpinya. Antara yang satu dengan yang lain mimpi tidak berbeda kecuali  karena perbedaan faktor-faktor  yang mempengaruhinya. Mimpi sedang berenang, misalnya, maka sekejab hubungan kita dengan air itu basah.
Hubungan ini juga mungkin terjadi melalui imajinasi sebagaimana terjadi pada para nabi, karena seluruh inspirasi atau wahyu yang mereka terima berasal dari imajinasi. Imajinasi menempati posisi penting dalam psikologi al-Farabi. Ia berhubungan erat dengan kecendrungan-kecendrungan dan perasaan-perasaan dan terlibat dalam tindakan-tindakan rasional dan gerakan-gerakan yang berdasarkan kemauan. Ia menciptakan gambaran-gambaran mental yang bukan merupakan tiruan dari hal-hal yang dapat dirasa dan merupakan sumber mimpi dan visi. Seandainya kita dapat menafsirkan mimpi secara ilmiah, maka ia dapat membantu kita memberikan penafsiran tentang wahyu dan inspirasi, karena inspirasi kenabian berbentuk impian yang benar dikala tidur atau wahyu dikala jaga. Perbedaannya haya terletak pada tingkatannya. Sebenarnya, mimpi yang benar tak lain hanyalah satu aspek kenabian.[21]
Kenabian juga bersifat pembawaan (fitri) bukan merupakan hasil pencarian(muktasabah). Semua usaha yang ada pada kasab (pencarian), semakin menambah nabi menjadi sempurna dan meningkat. Jika seseorang bisa meraih hubungan dengan alam atas, maka sempurnalah di atas tangannya segala mu’jizat dan karomah sebagai kelebihan yang menyalahi kebiasaan. Persoalan ini, walaupun rahasianya tidak diketahui, bisa diketahui melalui jalur psikologis-spiritual

F.     Al-Madinah Al-Fadhillah
Filsafat kenabian erat hubungannya dengan teori politik Al-Farabi. Uraian mengenai hal ini terdapat dalam bukunya yang berjudul Ara’ Ahla al-Madinah al-Fadilah (Model City). Kota digambarkan oleh al-Farabi seperti badan manusia yang mempunyai bagian-bagian tertentu. Antara anggota badan yang satu dengan yang lain memiliki hubungan yang erat dan mempunyai fungsi-fungsi tertentu yang harus dijalankan untuk kepentingan keseluruhan badan.[22]
Al-Farabi mengklasifikasikan masyarakat ke dalam dua golongan, yaitu (1) masyarakat sempurna, (2) masyarakat yang tidak sempurna. Masyarakat sempurna dibaginya ke dalam tiga tingkatan: (a) masyarakat besar, yaitu seluruh dunia, (b) masyarakat pertengahan yaitu sebagian dunia atau suatu teritorial, dan (c) masyarakat kecil yang hanya terdiri dari satu kota. Al-Farabi menerangkan bahwa masyarakat sempurna ialah masyarakat yang mengandung keseimbangan di anatara unsur-unsurnya.
Pokok filsafat kenegaraan Al-Farabi ialah autokrasi dengan seorang yang berkuasa mutlak mengatur Negara. Menurut al-Farabi, Negara yang utama (al-Madinatul fadilah) ialah kota (negara) yang warga-warganya tersusun menurut susunan alam besar (makrokosmos) atau menurut susunan kecil (mikrokosmos). Di dalam Negara yang terpenting adalah kepala Negara. Dimisalkan dengan hati, yaitu yang terpenting dalam diri manusia. Karena hati adalah unsur badan manusia yang paling sempurna, maka kepala Negara juga haruslah dipilih orang yang paling sempurna dari semua warga Negara (kota).[23]
Manusia bersifat sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendiri. Kebutuhan manusia dapat dicapai dengan berinteraksi, berproses, dan berkembang bersama dengan manusia lainnya. Kita tidak dapat membayangkan kehidupan individu tanpa masyarakat, dan juga tidak dapat membayangkan kehidupan masyarakat tanpa individu.[24]
Dilihat dari tujuan hidup bermasyarakat untuk memperoleh kebahagiaan, maka Al-Farabi membagi Negara kepada:
a. Negara Utama
Konsep Negara ini berasal dari Plato yang mempersamakan Negara dengan tubuh manusia. Tidak semua warga berhak menjadi Kepala Negara Utama. Ia harus telah mempunyai akal mustafad (Acquired Intellect) yang mampu berhubungan dengan akal aktif (‘aql fa’al). Untuk menjadi Kepala Negara Utama diharuskan memiliki dua belas sifat yang merupakan wataknya, yaitu: (1)Sehat anggotanya, (2)Baik pemikiran, pemahaman serta hafalannya, (3)Cerdik lagi cerdas, (4)Bagus ibarat (bahasa), (5)Mencintai ilmu dan pengajaran, (6)Tidak rakus kepada makan, minum dan kawin, (7)Mencintai kebenaran serta membenci kebohongan, (8)Besar jiwa, mencintai kemuliaan, (9)Tidak berharga padanya dinar dan dirham, (10)Mencintai keadilan, membenci kedzaliman, (11)Kuat cita-cita, tidak penakut dan tidak lemah mental, (12)Adil, tidak sukar memimpin dan tidak ambisius.
b. Negara Jahil
Dalam Negara ini, warga Negara tidak mengetahui sama sekali tentang kebahagiaan sejati. Mereka hanya tahu kebahagiaan itu pada kesehatan badan, kemudahan hidup dan kelezatan jasmani.
c. Negara Fasik
Dalam Negara ini, warga Negara mengetahui kebahagiaan dan jalan untuk mencapainya seperti halnya warga Negara Utama, tetapi amal mereka sama seperti warga Negara Jahil
d. Negara Sesat
Dalam Negara ini, warga negaranya mempunyai kepercayaan sesat dan buruk sangka terhadap Allah dan Akal Aktif. Kepala Negaranya menipu manusia dengan menyatakan dirinya menerima wahyu (wangsit).
e. Negara Berubah (Mutabaddilah)
Pada mulanya, warga negaranya memiliki kepercayaan dan perbuatan yang serupa dengan warga Negara Utama, tapi kemudian berganti dengan masuknya kepercayan yang sesat dan perbuatan yang keji.[25]
Pokok filsafat kenegaraan Al-Farabi ialah autokrasi dengan seorang raja yang berkuasa mutlak mengatur negaranya. Disini nyata teori kenegaraan iti paralel dengan filsafat mettafisikanya tentang kejadian alam ( emanasi yang bersumber pada yang satu ). Al-Farabi menegaskan bahwa negeri yang utama adalah negeri yang memperjuangkan kemakmuran dan kebhagiaan warga negaranya.
Al-Farabi berpendapat, ilmu polotik adalah ilmu yang meneliti berbagai bentuk tindakan, cara, hidup, watak, disposisi positif dan akhlak. Kebahagiaan manusia diperoleh karena perbuatan atau tindakan dan cara hidup yang dijalankannya. Al-Farabi berpendapat bahwa kebahagiaan yang hakiki (sebenanya) tidak mungkin dapat diperoleh sekarang (di dunia ini), tetapi sesudah kehidupan sekarang yaitu kehidupan akhirat. Namun sekarang ini juga ada kebahagiaan yang nisbi seperti halnya kehormatan, kekayaan, dan kesenangan yang dapat nampak dan dijadikan pedoman hidup.
BAB III
KESIMPULAN
Al-Farabi mempunyai  nama lain yaitu Abi Nashr Ibnu Audagh Ibn Thorban Al-Farabi, ia dilahirkan di desa wasij, Kota Farab ( Transoxania) pada tahun 257 H (870 M). Beliau adalah seorang muslim keturunan Persia, ayahnya Muhammad Auzlaghadalah seorang Panglima Perang Persia yang kemudian menetap di Damsyik dan Ibunya berasal dari Turki (Sidik, 1984:89). Al-Farabi melewatkan masa remajanya di Farab.
Diantara karyanya adalah  : Al-Jami’u Baina Ra’yani Al-Hkiman Afalatoni Al Hahiy wa Aristho-thails (pertemuan/penggabungan pendapat antara Plato dan Aristoteles), Tahsilu as Sa’adah (mencari kebahagiaan), As Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan), Fususu Al Taram (hakikat kebenaran), Arro’u Ahli Al Madinati Al Fadilah (pemikiran-pemikiran utama pemerintahan), As Syiasyah (ilmu politik), dsb.
Emanasi ialah teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam makhluk) dari Zat yang wajibul wujud (Zat yang mesti adanya: Tuhan). Teori emanasi disebut juga dengan nama “teori urut-urutan wujud”. Menurut al-Farabi, Tuhan adalah pikiran yang bukan berupa benda.
Al-Farabi membagi jiwa menjadi tiga bagian: 1) Jiwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya makan, tumbuh dan berkembang biak. 2) Jiwa binatang yang mempunyai daya gerak, pindah dari satu tempat ke tempat, dan daya menangkap dengan panca indra, 3) Jiwa manusia, yang mempunyai hanya satu daya, yaitu berfikir yang disebut akal.
Pokok filsafat kenegaraan Al-Farabi ialah autokrasi dengan seorang yang berkuasa mutlak mengatur Negara. Menurut al-Farabi, Negara yang utama (al-Madinatul fadilah) ialah kota (negara) yang warga-warganya tersusun menurut susunan alam besar (makrokosmos) atau menurut susunan kecil (mikrokosmos)
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1989

A. Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2007.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemah.

Hanafi, A, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.

Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam Cet. IX, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

Hermawan Heris, Filsafat Islam, Bandung; CV Insan Mandiri,  2011.





Maftuhin, Filsafat Islam, Yogyakarta: Teras, 2012

M. M. Syarif,  Para Filosof Muslim, Bandung: Mizan, 1996

Sudarsono, Filsafat Ilsam, Jakarta: Rineka Cipta, 2010.

Supriyadi Dedi, Pengantar Filsafat Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2009.







[1]Supriyadi Dedi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), Cet. I, h. 80.
[2]Hermawan Heris, Filsafat Islam, (Bandung; CV Insan Mandiri,  2011), Cet.I, h. 29.
[3]Sudarsono, Filsafat Ilsam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010) Cet.III, h. 31
[4]Suryadi Dedi, Op.Cit. h. 82.
[5]Ibid. h. 83.
[6]A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h.127-128
[8]Hanafi, A, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991) h. 92
[9]A. Mustofa, Op-Cit, h.134
[10]Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemah.
[11]Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam Cet. Ke IX, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 27-28
[12]A.  Mustofa,  Op.Cit. , h.162
[14] Sudarsono, Op.Cit., h. 37-38.
[16]Ibid
[18]ibid
[19]M. M. Syarif,  Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 1996), h. 77.
[20]A. Mustofa, Op.Cit. h. 137.
[21]M.M. Syarif, Op.Cit., h. 75.
[22]Maftuhin, Filsafat Islam…hlm. 103
[24]Maftuhin, Filsafat Islam, (Yogyakarta: Teras, 2012). h. 104-106
[25]Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1989), hlm. 51-53

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Perkembangan Turki Abad 21

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Masalah Orang-orang Turki merasa lekat dengan agama yang mereka anut semenjak berabad-abad la...