PEMIKIRAN FILSAFAT
AL-FARABI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Al-Farabi adalah seorang komentator filsafat Yunani yang
sangat ulung di dunia Islam. Meskipun kemungkinan besar ia tidak bisa berbahasa
Yunani, ia mengenal para filsuf Yunani; Plato, Aristoteles dan Plotinus dengan
baik. Kontribusinya terletak di berbagai bidang seperti matematika, filosofi,
pengobatan, bahkan musik. Al-Farabi telah menulis berbagai buku tentang
sosiologi dan sebuah buku penting dalam bidang musik, Kitab al-Musiqa. Ia dapat
memainkan dan telah menciptakan bebagai alat musik.
Al-Farabi muda belajar ilmu-ilmu islam dan musik di Bukhara.
Setelah mendapat pendidikan awal, Al-farabi belajar logika kepada orang Kristen
Nestorian yang berbahasa Suryani, yaitu Yuhanna ibn Hailan. Pada masa
kekhalifahan Al-Muta'did tahun 892-902M, Al-farabi dan Yuhanna ibn Hailan pergi
ke Baghdad dan Al-farabi unggul dalam ilmu logika. Al-Farabi selanjutnya banyak
memberi sumbangsihnya dalam penempaan filsafat baru dalam bahasa Arab. Pada
kekahlifahan Al-Muktafi tahun 902-908M dan awal kekhalifahan Al-Muqtadir pada
tahun 908-932M Al-farabi dan Ibn Hailan meninggalkan Baghdad menuju Harran.
Dari Baghdad Al-Farabi pergi ke Konstantinopel dan tinggal di sana selama
delapan tahun serta mempelajari seluruh silabus filsafat.
Al-Farabi dikenal sebagai "guru kedua" setelah
Aristoteles. Dia adalah filosof islam pertama yang berupaya menghadapkan,
mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik
dengan islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks
agama-agama wahyu. Karyanya yang paling terkenal adalah Al-Madinah
Al-Fadhilah (Kota atau Negara Utama) yang membahas tetang pencapaian
kebahagian melalui kehidupan politik dan hubungan antara rezim yang paling baik
menurut pemahaman Plato dengan hukum Ilahiah islam
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana riwayat hidup dan Apa saja karya-karya Al-Farabi ?
2. Bagaimana mempertemukan agama dan filsafat menurut Al-Farabi?
3. Bagaimana filsafat ketuhanan dan emanasi menurut
Al-Farabi ?
4. Bagaimana filsafat
al-nafs menurut
Al-Farabi ?
5. Bagaimana filsafat kenabian menurut Al-Farabi ?
6. Bagaimana filsafat al-madinah al-fadillah Al-Farabi ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi dan Karya Al-Farabi
Al-Farabi
memiliki nama lengkap yaitu Abi Nashr Ibnu Audagh Ibn Thorban
Al-Farabi, ia dilahirkan di Desa Wasij, Kota Farab (Transoxania) pada tahun 257
H (870 M). Beliau adalah seorang muslim keturunan Persia, ayahnya Muhammad
Auzlaghadalah seorang Panglima Perang Persia yang kemudian menetap di Damsyik
dan Ibunya berasal dari Turki. Al-Farabi melewatkan masa remajanya di Farab. Di
kota yang mayoritas mengikuti mazhab Syafi’iyah, disanalah Al-Farabi menerima
pendidikan dasarnya. sejak kecil Al-Farabi suka belajar dan ia mempunyai
kecakapan yang luar biasa dalam bidang bahasa. Bahasa yang dikuasainya, anatara
lain bahasa Iran, Turkestan, dan Kurdistan. Munawir Sjadzali mengatakan bahwa
Al-Farabi dapat berbicara dalam tujuh puluh macam bahasa; tetapi yang dia
kuasai dengan aktif, hanya empat bahasa: Arab, Persia, Turki dan Kurdi[1].
Pada masa awal pendidikannya ini, Al-Farabi belajar
Al-Qur’an, Tata-bahasa, kesusastraan, ilmu-ilmu agama ( fiqih, Tasir dan
Ilmu Hadits) dan Aritmatika dasar.
Pada masa inilah Al-Farabi pindah ke
Bukhara untuk menempuh studi lanjut fiqh dan
ilmu-ilmu lanjut lainnya. Pada masa inilah Al-Farabi mulai berkenalan dengan
bahasa dan budaya serta filsafat persia. Juga di Bukhara inilah Al-Farabi
pertama kali belajar tentang musik. Kepakaran Al-Farabi di bidang musik
dibuktikan dengan karyanya yang berjudul Kitab al-Musiqa
al-Kabir atas permintaan Abu Ja’far Muhammad Ibn
al-Qasim, Wazir Khalifah Al-Rhadi tahun 936 M[2].
Al-Farabi
pernah menjadi qadhi. Setelah
melepaskan jabatan qadhinya, Al-Farabi kemudian berangkat ke Merv untuk
mendalami logika Aristotelian dan filsafat. Guru utama Al-Farabi adalah Yuhanna
Ibn Hailan. Di bawah bimbingannya, Al-Farabi membaca teks-teks dasar logika
Aristotelian, termasuk Analitica
Posteriora yang belum pernah dipelajari seorang muslim pun sebelumnya di
bawah bimbingan guru khusus. Pada waktu mudanya, Al-Farabi pernah belajar
bahasa dan sastra Arab di Bagdad kepada Abu Bakar As-Saraj, dan logika serta
filsafat kepada Abu Bisyr Mattius Ibn Yunus seorang filosof Nestorian yang
banyak menerjemahkan filsafat Yunani, memiliki reputasi tinggi dalam bidang
filsafat dan mampu menarik minat banyak orang dalam kuliah-kuliah umumnya
tentang logika Aristotelian.
Setelah itu ia pindah ke Harran salah satu
pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil, dan berguru kepada Yuhana Ibn Jilad.
Tetapi tidak lama kemudian ia meninggalkan kota itu dan kembali
ke Bagdad untuk mendalami filsafat sesudah ia menguasai ilmu mantik (logika),
dan di Bagdad ia menetap selama 20 tahun. Selama waktu itu ia memakai waktunya
untuk mengarang, memberikan pelajaran dan mengulas buku-buku filsafat. Muridnya yang
terkenal pada masa ini antara lain ialah Yahya bin Adi, filsuf Kristen.[3]
Pada tahun 330 H (941 M) ia pindah ke
Damaskus, dan berkenalan dengan Saif Ad-Daulah Al-Hamdani, Sultan Dinasti
Hamdan do Allepo. Sultan memberinya kedudukan sebagai seorang ulama istana
dengan tunjangan yang besar sekali, dan Al-Farabi mendapat perlindungan. Tetapi
Al-Farabi lebih memilih hidup sederhana (zuhud) dan tidak tertarik pada
kemewahan dan kekayaan. Ia hanya memerlukan empat dirham saja sehari
untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selanjutnya, sisa tunjangan
jabatan yang diterimanya, dibagi-bagikan kepada fakir miskin dan amal sosial di
Allepo dan Damaskus.
Hal yang menggembirakan dari ditempatkannya
Al-Farabi di Damaskus adalah Al-Farabi bertemu dengan sastrawan, penyair, ahli
bahasa, ahli fiqh, dan kaum cendikiawan lainnya. Lebih kurang 10 tahun, Al-Farabi tinggal di Allepo dan
Damaskus secara berpindah-pindah akibat hubungan penguasa ini semakin memburuk,
sehingga Saif Ad-Daulah menyerbu kota Damaskus yang kemudian berhasil
menguasainya. Dalam penyerbuan ini Al-Farabi diikutsertakan. Pada bulan
Desember 950 M (339 H) , Al-farabi meninggal dunia di damaskus dalam Usia
80 tahun[4].
Al-Farabi, hampir sepanjang hidupnya terbenam
dalam dunia ilmu, sehingga
tidak dekat dengan
penguasa-penguasa Abbasiyah pada waktu itu. Saking gemarnya Al-Farabi dengan
dunia ilmu dan kegemarannya dalam membaca dan menulis, ia sering membaca dan
menulis di bawah sinar lampu penjaga malam.
Al-Farabi yang dikenal sebagai filsuf Islam
terbesar, memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat
secara utuh dan menyeluruh serta mengupasnya denga sempurna. Sehingga
filsuf yang datang sesudahnya, seperti Ibnu Sina (370 H/980 M – 428 H/1037 M)
dan Ibnu Rusyd (520 H/1126 M – 595 H /1198 M) banyak mengambil dan mengupas
sistem filsafatnya. Pandangannya yang demikian mengenai filsafat, terbukiti
dengan usahanya untuk mengakhiri kontradiksi antara pemikiran Plato dan
Aristoteles lewat risalahnya Al-Jam’u baina Ra’yay Al-Hakimain Aflathun Wa
Aristhu.
Pada abad pertengahan, Al-Farabi sangat
dikenal sehingga orang-orang Yahudi banyak yang mempelajari
karangan-karangan/risalah-risalahnya yang disalin ke dalam bahasa Ibrani.
Sampai sekarang, salinan tersebut masih tersimpan di perpustakaan-perpustakaan
Eropa.
Al-Farabi hidup pada zaman ketika situasi
politik dan kekuasaan Abbasiyah di guncang oleh berbagai gejolak, pertentangan, dan pemberontakan.
Al-Farabi lahir pada masa pemerintahan Al-Mu’taaddid (870-892 M) dan meninggal
pada masa pemerintahan Muti. Suatu periode paling kacau dan tidak ada
stabilitas politik sama sekali. Pada waktu itu, timbul banyak macam tantangan,
bahkan pemberontakan terhadap kekuasaan Abbasiyah dengan berbagai motif : Agama, kesukuan, dan
kebendaan.
Diperkirakan erat kaitannya dengan situasi
politik yang demikian kisruh,
Al-Farabi menjadi gemar berkhalwat, menyendiri dan merenung. Ia merasa
terpanggil untuk mencari pola kehidupan bernegara dan bentuk pemerintahan yang
ideal.[5]
Di antara pemikiran al-Farabi dituliskan
menjadi sebuah karya, namun ciri khas karyanya al-Farabi bukan saja mengarang
kitab-kitab besar atau makalah-makalah, ia juga memberikan ulasan-ulasan serta
penjelasan terhadap karya Aristoteles, Iskandar Al-Dfraudismy dan Plotinus. Di
antara ulasan al-Farabi terhadap karya-karya mereka adalah sebagai berikut:
1. Ulasannya
terhadap karya Aristoteles: Burhan
(dalil), Ibarat
(keterangan), Khitobah
(cara berpidato), Al-Jadal
(argumentasi/berdebat), Qiyas
(analogi), Mantiq
(logika)
2. Ulasannya
terhadap karya Plotinus ”Kitab al-Majesti fi-Ihnil Falaq”,
3. Ulasannya
terhadap karya Iskandar Al Dfraudisiy tentang ”Maqalah Fin-nafsi”.
Sedangkan karya-karya nyata
dari al-Farabi lainnya :
1. Al-Jami’u
Baina Ra’yani Al-Hkiman Afalatoni Al Hahiy wa Aristho-thails
(pertemuan/penggabungan pendapat antara Plato dan Aristoteles),
2. Tahsilu
as Sa’adah (mencari kebahagiaan),
3. As
Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan),
4. Fususu
Al Taram (hakikat kebenaran),
5. Arro’u
Ahli Al Madinati Al Fadilah (pemikiran-pemikiran utama pemerintahan),
6. As
Syiasyah (ilmu politik),
7. Fi
Ma’ani Al Aqli,
8. Ihsho’u
Al Ulum (kumpulan berbagai ilmu),
9. At
Tangibu ala As Sa’adah
10. Isbatu
Al Mufaraqat,
B.
Agama dan Filsafat
Al-Farabi
menyelesaikan masalah tersebut dengan konsepnya tentang intelek aktif.
Al-farabi dianggap sebagai orang pertama yang memberikan kajian
secara mendalam dan sistematis tentang persoalan wahyu dan rasio. Kata
wahyu (wahy) dipakai dalam dua pengertian oleh
al-Farabi. Pertama, wahyu sebagai ma’rifah (gnosis),
yaitu pengetahuan tertinggi dalam mengetahui objek-objek intelegensi
natural (al-ma’qulat al-thabi’iyah) yang dapat didefinisikan
sebagai eksistensi-eksistensi yang tidak dapat dirubah dari satu kondisi ke
kondisi lainnya. Kedua, wahyu sebagai hikmah (kebijaksnaan)
yang didefinisikan sebagai “pengetahuan tertinggi tentang eksistensi-eksistensi
yang paling utama”. Melalui hikmah ini, manusia mampu mengetahui kebahagiaan
yang hakiki. Al-Farabi menyatakan bahwa orang yang menerima wahyu (nabi)
berarti telah menerima ma’rifah dan hikmah, sehingga ia juga menyatakan bahwa
nabi adalah seorang ahli filosof dan ahli hikmah, sedangkan seorang filosof dan
ahli hikmah belum tentu seorang nabi.
Dalam pandangannya,
wahyu adalah sejenis proses pemahaman kosmik yang melalui intelek aktif untuk
memehami essensi dari Sebab Pertama dan sebab-sebab sekunder (prinsip-prinsip benda langit) dengan mempunyai visi tentang
Tuhan dan seluruh alam ruh. Namun, karena wahyu juga harus disampaikan kepada
manusia, maka dari titik sang penerima, wahyu mengandung dua dimensi: teoritis
(realitas-realitas spiritual dan intelektual seperti yang dilihat dan dipahami
oleh nabi sendiri) dan praktis (undang-undang atau kebijaksanaan praktis yang
disampaikan kepada manusia demi tercapainya kebahagiaan
Ada tiga
jenis intelek yang terlibat dalam hal ini. Pertama, intelek
aktual yang bertindak mengaktualkan objek-objek pengetahuan potensial (ma’qul
bi al quwwah). Kedua, intelek perolehan yang didapat nabi ketika
bersatu dengan intelek aktif. Dalam hal ini, intelek perolehan bertindak
sebagai agen yang menerima pengetahuan transenden dari intelek aktif. Ketiga,
intelek aktif sebagai perantara antara Tuhan dan manusia. Proses pewahyuan sendiri
dimulai, pertama-tama, dari pelatihan-pelatihan lewat tahap-tahap aktualisasi
seperti yang dilakukan oleh orang lain. Namun, seperti kutipan diatas, seorang
nabi bukan orang biasa melainkan merupakan sosok yang diberi kemampuan
intelektual yang luar biasa (fathanah), sehingga tidak membutuhkan
pelatihan-pelatihan dari seorang guru atau pembimbing, cukup mengembangkan
sendiri lewat bantuan kekuatan Ilahi Bakat luar biasa yang ada dalam nabi, yang
kemudian berkembang pesat dalam pelatihan adalah daya imajinasi (khayal).
Menurut al-Farabi, nabi dikaruniai daya imajinasi yang begitu sempurna jauh
diatas orang lain Ketika kemampuan imajinatif telah mampu menerima dan
melambangkan kebenaran-kebenaran hakiki, berarti telah memperoleh intelek
perolehan dan mampu berhubungan dengan intelek aktif; disitulah terjadinya
proses pewahyuan dan muncul seorang nabi
Menurut
Laeman, daya imajinasi pada hakikatnya bekerja dan berada dalam posisi
perantara antara akal teoritis dan praktis. Dalam kaitannya denga akal teoritis,
daya imajinasi berfungsi untuk menerjemahkan dan merubah kebenaran rasional
dari intelek aktif dari masa lalu, sekarang, dan masa yang aka datang, dan juga ide-ide abstrak dan proposisi-proposisi, menjadi
bahasa-bahasa simbol atau perumpamaan. Sedangkan kaitannya dalam akal praktis,
daya imajinasi berfungsi untuk “penebak” yang tepat untuk kejadian-kejadian
masa depan seperti yang terjadi dalam mimpi. Sehingga, kesimpulan-kesimpulan
dapat diperoleh secara cepat. Dengan demikian, dalam pandangan al-Farabi, wahyu
dapat ditangkap dan terjadi setelah seseorang mencapai intelek perolehan, dan
intelek perolehan sendiri dapat diperoleh melalui latihan-latihan intelek
aktual dengan bantuan daya imajinasi.
Meski
demikian, al-Farabi tetap membedakan antara wahyu yang diperoleh nabi dengan
hasil renungan para filosof. Pertama, penerimaan wahyu oleh nabi bukan hanya
melibatkan intelek melainkan juga daya kognitif lainnya, sedangkan dalam perenungan filosofis, hanya mengandalkan
logika dan intelek (al-aql al-kulli). Kedua, nabi tidak memerlukan
aktifitas atau pelatihan-pelatihan yangyang melibatkan indera-indera internal
atau ekternal, karena nabi telah diaugerahi bakat intelektual yang luar
biasa,sepeerti yang telah dijelaskan diatas, sedangkan para filosof memerlukan pengembangan
dan latihan-latihan, baik secara indera-indera internal maupun eksternal.
Dengan
demikian, al-Farabi menyelesaikan persoalan wahyu dan rasio lewat konsepnya
tentang intelek aktif (al-aql al-fa’al)[7].
C.
Emanasi dan Filsafat
Ketuhanan
1.
Emanasi
Emanasi
ialah teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam makhluk) dari Zat yang wajibul wujud (Zat
yang mesti adanya: Tuhan). Teori emanasi disebut juga dengan nama “teori urut-urutan wujud”. Menurut
al-Farabi, Tuhan adalah pikiran yang bukan berupa benda.[8]
Konsep
ini erat kaitannya dengan teori wujud (eksistensi) yang oleh al-Farabi
dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
1. Wujud yang mungkin ada karena lainnya (mumkin
al-Wujub). Seperti wujud cahaya yang tidak akan ada kalau sekiranya tidak ada matahari. Cahaya
itu sendiri menurt tabi’atnya bisa wujud dan bisa
pula tidak. Karena matahari telah wujud, maka cahaya itu menjadi wujud disebabkan wujudnya matahari. Wujud yang mungkin ini menjuadi bukti adanya
sebab yang pertama, karena segala yang mungkin harus berakhir pada suatu wujud yang nyata dan
pertama kali ada.
2. Wujud yang ada dengan sendirinya ( wajib
al-wujud). Wujud ini adalah wujud yang tabi’atnya itu sendiri menghendaki wujudnya. Kalau
ia tidak ada, maka yang lainpun tidak akan ada sama sekali, ia adalah sebab pertama bagi
semua wujud yang ada. Dan wujud yang wajib ada
inilah Tuhan.[9]
Berdasarkan
konsep ini, al-Farabi berpendirian, bahwa seluruh yang ada (maujud) tidak
terlepas dari keadaan wajibul wujud atau mumkin wujud. Yang mumkinul wujud lahir
karena ada sebab, sedangkan yang wajibul wujud adalah ada dengan tidak
bersebab, ia memiliki zat yang agung dan sempurna, ia memiliki kesanggupan mencipta
dalam keseluruhan sejak azali. Sesuai dengan firman Allah dalam Surat
Yasin ayat 82.
!$yJ¯RÎ) ÿ¼çnãøBr& !#sÎ) y#ur& $º«øx© br& tAqà)t ¼çms9 `ä. ãbqä3usù ÇÑËÈ
Terjemahnya:
”Sesungguhnya
segala urusan-Nya apabila dia menghendaki sesuatu hanyalah Berkata kepadanya:
"Jadilah!" Maka terjadilah ia[10].
Al-Farabi berpendapat Tuhan sebagai akal, berpikir
tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain. Tuhan
merupakan wujud pertama (al wujudul awwal) dan dengan pemikirannya itu timbul
wujud kedua (al wujudul tsani) yang juga mempunyai substansi. Ia disebut akal
pertama (al aqlu awwal)
yang tidak bersifat materi. Sedangkan wujud kedua berpikir tentang wujud
pertama dan dari pemikiran inilah timbul wujud ketiga (wujudul tsalis) disebut
Akal Kedua (al aqlu
tsani).
Lebih lanjut, urutan-urutan emanasi al-‘Aqil
itu dapat digambarkan
sebagai berikut :
1. Wujud
II atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya hingga timbullah Langit
Pertama (al-Asmaul awwal),
2. Wujud
III / Akal kedua menimbulkan Wujud IV/Akal Ketiga yakni bintang-bintang),
3. Wujud
IV/Akal Ketiga menimbulkan Wujud V/Akal Keempat, yakni Planet Saturnus,
4. Wujud
V/Akal Keempat menimbulkan Wujud VI/Akal Kelima, yakni Planet Jupiter,
5. Wujud
VI/Akal Kelima menimbulkan Wujud VII/Akal Keenam, yakni Planet Mars,
6. Wujud
VII/Akal Keenam menimbulkan Wujud VIII/Akal Ketujuh, yakni Matahari,
7. Wujud
VIII/Akal Ketujuh menimbulkan Wujud IX/Akal Kedelapan,yakni Planet Venus,
8. Wujud
IX/Akal Kedelapan menimbulkan Wujud X/Akal Kesembilan, yakni Planet Mercurius,
9. Wujud
X/Akal Kesembilan menimbulkan Wujud XI/Akal Kesepuluh, yakni Bulan.
Wujud yang dimaksud adalah
Wujud Tuhan. Pada pemikiran Wujud XI/Akal Kesepuluh, berhentilah terjadinya
atau timbulnya akal-akal. Tetapi dari Akal Kesepuluh muncullah bumi serta
roh-roh dan materi yang menjadi dasar dari keempat unsur, yaitu api, udara,
air, dan tanah.[11]
Sebuah pertanyaan, mengapa jumlah akal
dibataskan kepada bilangan sepuluh? Hal ini disesuaikan dengan bilangan bintang
yang berjumlah sembilan. Selain itu, ditiap-tiap akal diperlukan satu planet
pula, kecuali akal pertama yang tidak disertai sesuatu planet ketika keluar
dari Tuhan. Tetapi mengapa jumlah bintang tersebut ada 9 (sembilan)? Karena
jumlah benda-benda angkasa menurut Aristoteles ada tujuh. Kemudian barulah
al-Farabi menambah dua lagi, yaitu benda langit yang terjauh dan bintang-bintang tetap.
Ia menyatakan bahwa jumlah akal ada sepuluh , sembilan di antaranya untuk
mengurus benda-benda langit yang sembilan, sedangkan akal sepuluh yaitu akal
bulan yang mengawasi dan mengurusi kehidupan dibumi. Akal itu saling berurutan,
maka pada Tuhan, yaitu Wujud Pertama yang hanya terdapat pada satu objek
pemikiran yaitu zat-Nya saja. Tetapi pada akal-akal tersebut terdapat dua objek
pemikiran yaitu Tuhan dan diri akal itu sendiri. Pemikiran akal pertama dalam
kedudukannya sebagai Wajibul Wujud karena Tuhan, dan sebagai Wujud yang
mengetahui Tuhan, keluarlah akal kedua dan seterusnya.[12]
2.
Sifat Tuhan
Dalam
metafisikanya tentang ketuhanan Al-Farabi hendak menunjukkan keesaan Tuhan dan
ketunggalan-Nya. Juga dijelaskan pula mengenai kesatuan antara sifat dan zat (substansi)
Tuhan. Sifat Tuhan tidak berbeda dari zat-Nya. Karena Tuhan adalah tunggal.
Juga zat Tuhan menjadi obyek pemikiran sendri (ma’qul), karena yang
mengahalang-halangi sesuatu untuk menjadi obyek pemikiran ialah benda itu pula.
Jadi ia adalah obyek pemikiran, karena ia adalah akal pikiran. Ia tidak
membutuhkan sesuatu yang lain untuk memikirkan Zat-Nya sendiri tetapi cukup
dengan Zat-Nya itu sendiri pula untuk menjadi obyek pikiran[13].
Tuhan
juga adalah Zat yang MahaMengetahui (‘alim) tanpa memerlukansesuatu yang lain
untuk dapat mengetahui. Jadi Tuhan cukup dengan zat-Nya sendiri untuk
mengetahui dan diketahui. Ilmu (pengetahuan) Tuhan terhadap diri-Nya tidak lain
hanyalah zatnya sendiri juga. Dengan demikian, maka ilmu dan zat yang mempunyai
ilmu adalah satu juga.
Jadi
menurut Al-farabi tidak ada perbedaan antara sifat Tuhan dengan zat (substansi)
Tuhan, sifat Tuhan yang berarti juga substansi Tuhan. Tuhan sendiri sebenarnya
akal, sebab segala sesuatu yang tidak membutuhkan benda, maka sesuatu itu
benar-benar akal. Begitu pula denga wujud yang pertama (Tuhan). Zat (substansi)
Tuhan yang satu itu adalah akal (pikiran). Akal adalah zat (substansi) yang
berfikir, tetapi sekaligus juga menjadi obyek pemikiran Tuhan sendiri.
3.
Pembuktian Adanya Tuhan
Dalam
membuktikan adanya Tuhan ada beberapa dalil yang dapat digunakan sebagai dalil
ontologi, dalil teologi dan kosmologi. Para pemikir Yunani menggunakan
dalil-dalil tersebut(ontologi, teologi dan kosmologi) untuk samapai kepada
kesimpulan adanya Tuhan. Hal seperti itu diikuti pula oleh para pemikir Islam.
Diantar dalil yang banyak dipakai adalah dalil ciptaan atau dalil kosmologi menurut
istilah metofisika.
Dalil
kosmologi melihat alam sebagai makhluk suatu akibat yang terakhir dalam
rangkaian sebab akibat. Pada akhirnya hubungan sebab akibat akan berhenti pada
satu sebab pertama, karena pada dasarnya kita tidak dapat memikirkan adanya
rentetan sebab akibat yang tidak berkesudahan (berkeputusan). Al-Farabi dalam
membuktikan adanya Tuhan menggunakan dalil penciptaan ini.
Segala
sesuatu yang ada, pada dasarnya hanya mempunyai dua keadaan, pertama asda
sebagai kemungkinan disebut wujud yang mungkin, kedua ada sebagai
keharusan disebut dengan wujud yang wajib. Dalam keadaan yang pertama
adanya ditentukan oleh ada yang lain, dan keadaan yang kedua adanya tanpa
sesuatu yang lain ada dengan sendirinya dan sebagai keharusan.
Pembuktian
dengan dalil kosmologi seperti yang dilakukan oleh Al-Farabi termasuk dalil
yang sederhana mudah dimengerti, tetapi kelemahan dalil ini berpangkal dari
suatu keyakianan yang mengharuskan adanya Tuhan[14].
D.
Al-Nafs (Jiwa)
Pada umumnya para filosof Muslim mengikuti aliran Aristoteles dalam hal jiwa
manusia, yaitu berupa daya makan, daya indra, dan daya pikir. Al-Farabi membagi
jiwa menjadi tiga bagian:
1. Jiwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya makan, tumbuh dan berkembang biak.
2. Jiwa binatang yang mempunyai daya gerak, pindah dari satu tempat ke tempat,
dan daya menangkap dengan panca indra, yang terbagi dua: (a) Indra luar, yaitu
pendengaran, penglihatan, rasa dan raba. Dan (b) Indra dalam yang berada di
otak dan terdiri dari: i. Indra bersama yang menerima kesan-kesan yang
diperoleh pancaindra; ii. Indra penggambar yang melepaskan gambar-gambar dari
materi; iii. Indra pereka yang mengatur gambar-gambar ini; iv. Indra penganggap
yang menangkap arti-arti yang terlindung dalam gambar-gambar tersebut; v. Indra
pengingat yang menyimpan arti-arti.
3. Jiwa manusia, yang mempunyai hanya satu daya, yaitu berfikir yang disebut
akal. Akal terbagi dua: a. Akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal
dari materi melalui indra pengingat yang ada dalam jiwa binatang. b. Akal
teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang tak pernah ada dalam materi
seperti Tuhan, roh dan malaikat.
Al-Farabi menjelaskan bahwa manusia mempunyai lima
kemampuan atau daya. Pertama, kemampuan untuk tumbuh yang disebut daya
vegetatif sehingga memungkinkan manusia berkembang menjadi besar dan dewasa.
Kedua, daya mengindera, sehingga memungkinkan manusia dapat menerima rangsangan
seperti panas, dingin dan lainnya. Daya ini membuat manusia mampu mengecap,
membau, mendengar dan melihat warna serta objek-objek penglihatan lain. Ketiga,
daya imajinasi sehingga memungkinkan manusia masih tetap mempunyai kesan atas
apa yang dirasakan meski objek tersebut telah tidak ada lagi dalam jangkauan
indera. Daya ini juga mempunyai kemampuan untuk menggabungkan atau memisahkan
kesan-kesan yang diterima dari indera sehingga menghasilkan kombinasi atau
potongan-potongan. Hasilnya bisa benar atau salah. Keempat, daya berpikir yang
memungkinkan manusia untuk memahami berbagai pengertian sehingga dapat
membedakan antara yang satu dengan lainnya, kemampuan untuk menguasai ilmu dan
seni. Kelima, daya rasa yang membuat manusia mempunyai kesan dari apa yang
dirasakan: suka atau tidak suka.[15]
Pengetahuan manusia, menurut al-Farabi, diperoleh lewat tiga
daya yang dimiliki, yaitu daya indera,
daya imajinasi dan daya pikir,
yang masing-masing disebut sebagai indera eksternal, indera internal dan
intelek. Tiga macam indera ini merupakan sarana utama dalam pencapaian
keilmuan.
"Konsep psikologi" al-Farabi, jika diistilahkan
demikian, sungguh sangat modern dan “manusiawi”. Menurutnya, manusia tidak
hanya merangkum potensi-potensi tumbuhan (vegetatif) dan binatang (animal)
sehingga ia dapat tumbuh dan berkembang, tetapi yang terpenting adalah
potensi-potensi nalar (rasional). Lebih dari itu, manusia juga mempunyai
potensi intelek sehingga mampu
melepaskan diri dari kungkungan dunia material untuk selanjutnya menjangkau
realitas-realitas metafisis non-material. Bahkan, intelek ini pulalah yang
mampu mengantarkan manusia “bertemu” dengan Tuhannya. Disinilah nilai utama
seorang manusia dibanding makhluk lain.[16]
E.
Filsafat Kenabian
Selain filsafat emanasi, al Farabi juga terkenal dengan
filsafat kenabian dan filsafat
politik kenegaraannya. Dalam hal filsafat kenabian, al Farabi disebut sebagai
filusuf pertama yang membahas soal kenabian secara lengkap. Al Farabi
berkesimpulan bahwa para nabi / rasul maupun para filusuf sama-sama dapat
berkomunikasi dengan akal Fa’al, yakni akal ke sepuluh (malaikat).
Perbedaannya, komunikasi nabi/rasul dengan akal kesepuluh terjadi melalui
perantaraan imajinasi (al mutakhayyilah) yang sangat kuat, sedangkan para
filusuf berkomunikasi dengan akal kesepuluh malalui akal Mustafad, yaitu akal
yang mempunyai kesanggupan dalam menangkap inspirasi dari akal kesepuluh yang
ada diluar diri manusia.
Dalam perjalanannya, pembahasan mimpi tidaklah didominasi
oleh satu kelompok ataupun satu bidang disiplin ilmu saja. Tetapi meluas ke
berbagai bidang disiplin ilmu, misalnya filsafat, psikologi, agama, dan
lain-lain. Hal ini menandakan bahwa tema mimpi memang merupakan tema yang menarik dan selalu aktual untuk
dijadikan bahan kajian. Karena tentunya, banyak orang dengan segala jenis
kelompok usia dan golongan lapisan sosialnya hingga saat ini masih mengalami
mimpi.[17]
Aristoteles berpendapat bahwa proses inderawi menimbulkan
berbagai pengaruh yang tetap bertahan pada alat indera eksternal. Lalu,
pengaruh itu pindah ke pusat indera bagian dalam yang terletak di hati dengan
perantara darah, sehingga menyebabkan terjadinya fantasi dan mimpi. tetapi
Aristoteles menolak bahwa mimpi berasal dari tuhan, dan menolak
peramalan-peramalan yang dilakukan oleh para nabi melalui tidur, jika tidak
demikian, maka massa yang banyak mengalami mimpi akan mengklaim bisa meramalkan
masa depan.[18]
Pendapat Al Farabi berbeda dengan pendapat Aristoteles dan
menyatakan bahwa melalui imajinasi manusia dapat berhubungan dengan intelegensi
agen, tapi hal ini hanya bagi pribadi-pribadi pilihan. Intelegensi agen adalah
sumber hukum dan inspirasi ketuhanan. Hal itu serupa dengan malaikat yang
diberi tugas untuk menyampaikan wahyu sebagaimana dalam ajaran islam. Kemampuan berhubungan dengan
intelengensi agen terdapat pada nabi dan filosof, kalau nabi dengan
imajinasinya sedang filosof dengan spekulasi dan perenungan. Dapat dimengerti
bahwa keduanya berdasarkan pada sumber yang sama dan memperoleh pengetahuan
dari atas.[19]
Selain wahyu,
impian juga merupakan alat perhubungan dengan Tuhan , karena jiwa yang suci
pada waktu tengah tidur naik kealam gaib, dan disana ia melihat
rahasia-rahasianya. Nabi saw mulai dakwahnya telah melihat impian-impian,
sebagai tanda akan dimulainya tugas-tugas yang dibebankan kepadanya. Begitu
penting kedudukan impian, sehingga ada surat di dalam al-Qur’an dimana seluruh
pembicaraannya berkisar sekitar impian, yaitu surat Yusuf. Nabi Muhammad saw
juga mengatakan tentang impian, impian yang benar merupakan satu bagian dari 46
bagian kenabian.[20]
Persoalaan kenabian yang lain adalah bagaimana pengaruh
imajinasi terhadap impian dan pembentukannya, sebab apabila soal impian ini
bisa ditafsirkan secara ilmiah, maka soal kenabian dan kelanjutannya bisa
ditafsirkan pula. Sebagaimana dimaklumi, ilham-ilham kenabian adakalanya
terjadi pada waktu tidur atau pada waktu jaga, atau dengan perkataan lain,
dalam bentuk impian yang benar atau wahyu. Perbedaan antara kedua cara ini
bersifat relatif dan hanya mengenai tingkatannya, tetapi tidak mengenai
esensinya (hakikatnya). Impian yang benar tidak lain adalah salah satu cabang kenabian yang erat
hubungannya dengan wahyu dan tujuannya juga sama, walaupun berbeda caranya.
Jadi apabila kita dapat menerangkan salah satunya, maka dapat pula menerangkan
yang lain.
Al-Farabi menerangkan bahwa imajinasi jika telah terlepas
perbuatan-perbuatan diwaktu berjaga, maka disaat sedang tidur ia mempergunakan
sebagian fenomena
psikologis. Kemudian ia menciptakan ilustrasi-ilustrasi baru atau mengumpulkan
ilustrasi-ilustrasi konsepsional yang telah ada sebelumnya dalam berbagai
bentuk, dengan cara menirukan dan terpengaruh oleh sebagian penyerapan inderawi
dan perasaan jasmaniah atau emosi-emosi psikologis dan persepsi-persepsi
rasional. Karena imajinasi suatu potensi kreatif yang mampu menciptakan,
mewujudkan, serta mengilustrasikan dan membentuk. Imajinasi mempunyai
kemampuan besar untuk menirukan dan daya mempengaruhi, maka semua kondisi
anggota tubuh, psikologis, bahkan penyerapan dari orang yang sedang tidur
mempunyai pengaruh yang jelas di dalam imajinasinya kemudian di dalam
pembentukan mimpinya. Antara yang satu dengan yang lain mimpi tidak berbeda
kecuali karena perbedaan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Mimpi
sedang berenang, misalnya, maka sekejab hubungan kita dengan air itu basah.
Hubungan ini juga mungkin terjadi melalui imajinasi
sebagaimana terjadi pada para nabi, karena seluruh inspirasi atau wahyu yang
mereka terima berasal dari imajinasi. Imajinasi menempati posisi penting dalam
psikologi al-Farabi. Ia berhubungan erat dengan kecendrungan-kecendrungan dan
perasaan-perasaan dan terlibat dalam tindakan-tindakan rasional dan
gerakan-gerakan yang berdasarkan kemauan. Ia menciptakan gambaran-gambaran
mental yang bukan merupakan tiruan dari hal-hal yang dapat dirasa dan merupakan
sumber mimpi dan visi. Seandainya kita dapat menafsirkan mimpi secara ilmiah, maka ia dapat
membantu kita memberikan penafsiran tentang wahyu dan inspirasi, karena
inspirasi kenabian berbentuk impian yang benar dikala tidur atau wahyu dikala
jaga. Perbedaannya haya terletak pada tingkatannya. Sebenarnya, mimpi yang
benar tak lain hanyalah satu aspek kenabian.[21]
Kenabian juga bersifat pembawaan (fitri) bukan merupakan
hasil pencarian(muktasabah). Semua usaha yang ada pada kasab (pencarian),
semakin menambah nabi menjadi sempurna dan meningkat. Jika seseorang bisa
meraih hubungan dengan alam atas, maka sempurnalah di atas tangannya segala
mu’jizat dan karomah sebagai kelebihan yang menyalahi kebiasaan. Persoalan ini,
walaupun rahasianya tidak diketahui, bisa diketahui melalui jalur
psikologis-spiritual
F.
Al-Madinah Al-Fadhillah
Filsafat kenabian erat hubungannya
dengan teori politik Al-Farabi. Uraian mengenai hal ini terdapat dalam bukunya
yang berjudul Ara’ Ahla al-Madinah al-Fadilah (Model City). Kota digambarkan
oleh al-Farabi seperti badan manusia yang mempunyai bagian-bagian tertentu. Antara
anggota badan yang satu dengan yang lain memiliki hubungan yang erat dan
mempunyai fungsi-fungsi tertentu yang harus dijalankan untuk kepentingan
keseluruhan badan.[22]
Al-Farabi mengklasifikasikan masyarakat
ke dalam dua golongan, yaitu (1) masyarakat sempurna, (2) masyarakat yang tidak
sempurna. Masyarakat sempurna dibaginya ke dalam tiga tingkatan: (a) masyarakat
besar, yaitu seluruh dunia, (b) masyarakat pertengahan yaitu sebagian dunia
atau suatu teritorial, dan (c) masyarakat kecil yang hanya terdiri dari satu
kota. Al-Farabi menerangkan bahwa masyarakat sempurna ialah masyarakat yang
mengandung keseimbangan di anatara unsur-unsurnya.
Pokok filsafat kenegaraan Al-Farabi
ialah autokrasi dengan seorang yang berkuasa mutlak mengatur Negara. Menurut
al-Farabi, Negara yang utama (al-Madinatul fadilah) ialah kota (negara) yang
warga-warganya tersusun menurut susunan alam besar (makrokosmos) atau menurut
susunan kecil (mikrokosmos). Di dalam Negara yang terpenting adalah kepala
Negara. Dimisalkan dengan hati, yaitu yang terpenting dalam diri manusia.
Karena hati adalah unsur badan manusia yang paling sempurna, maka kepala Negara
juga haruslah dipilih orang yang paling sempurna dari semua warga Negara
(kota).[23]
Manusia bersifat sosial. Sebagai
makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendiri. Kebutuhan manusia dapat
dicapai dengan berinteraksi, berproses, dan berkembang bersama dengan manusia
lainnya. Kita tidak dapat membayangkan kehidupan individu tanpa masyarakat, dan
juga tidak dapat membayangkan kehidupan masyarakat tanpa individu.[24]
Dilihat dari tujuan hidup bermasyarakat
untuk memperoleh kebahagiaan, maka Al-Farabi membagi Negara kepada:
a.
Negara Utama
Konsep Negara ini berasal dari Plato
yang mempersamakan Negara dengan tubuh manusia. Tidak semua warga berhak
menjadi Kepala Negara Utama. Ia harus telah mempunyai akal mustafad (Acquired
Intellect) yang mampu berhubungan dengan akal aktif (‘aql fa’al). Untuk menjadi
Kepala Negara Utama diharuskan memiliki dua belas sifat yang merupakan
wataknya, yaitu: (1)Sehat anggotanya, (2)Baik pemikiran, pemahaman serta
hafalannya, (3)Cerdik lagi cerdas, (4)Bagus ibarat (bahasa), (5)Mencintai ilmu
dan pengajaran, (6)Tidak rakus kepada makan, minum dan kawin, (7)Mencintai
kebenaran serta membenci kebohongan, (8)Besar jiwa, mencintai kemuliaan,
(9)Tidak berharga padanya dinar dan dirham, (10)Mencintai keadilan, membenci
kedzaliman, (11)Kuat cita-cita, tidak penakut dan tidak lemah mental, (12)Adil,
tidak sukar memimpin dan tidak ambisius.
b.
Negara Jahil
Dalam Negara ini, warga Negara tidak
mengetahui sama sekali tentang kebahagiaan sejati. Mereka hanya tahu
kebahagiaan itu pada kesehatan badan, kemudahan hidup dan kelezatan jasmani.
c.
Negara Fasik
Dalam Negara ini, warga Negara
mengetahui kebahagiaan dan jalan untuk mencapainya seperti halnya warga Negara
Utama, tetapi amal mereka sama seperti warga Negara Jahil
d.
Negara Sesat
Dalam Negara ini, warga negaranya
mempunyai kepercayaan sesat dan buruk sangka terhadap Allah dan Akal Aktif.
Kepala Negaranya menipu manusia dengan menyatakan dirinya menerima wahyu
(wangsit).
e.
Negara Berubah (Mutabaddilah)
Pada mulanya, warga negaranya memiliki
kepercayaan dan perbuatan yang serupa dengan warga Negara Utama, tapi kemudian
berganti dengan masuknya kepercayan yang sesat dan perbuatan yang keji.[25]
Pokok filsafat kenegaraan Al-Farabi ialah autokrasi dengan
seorang raja yang berkuasa mutlak mengatur negaranya. Disini nyata teori
kenegaraan iti paralel dengan filsafat mettafisikanya tentang kejadian alam (
emanasi yang bersumber pada yang satu ). Al-Farabi menegaskan bahwa negeri yang
utama adalah negeri yang memperjuangkan kemakmuran dan kebhagiaan warga
negaranya.
Al-Farabi berpendapat, ilmu polotik
adalah ilmu yang meneliti berbagai bentuk tindakan, cara, hidup, watak,
disposisi positif dan akhlak. Kebahagiaan manusia diperoleh karena perbuatan
atau tindakan dan cara hidup yang dijalankannya. Al-Farabi berpendapat bahwa
kebahagiaan yang hakiki (sebenanya) tidak mungkin dapat diperoleh sekarang (di
dunia ini), tetapi sesudah kehidupan sekarang yaitu kehidupan akhirat. Namun
sekarang ini juga ada kebahagiaan yang nisbi seperti halnya kehormatan,
kekayaan, dan kesenangan yang dapat nampak dan dijadikan pedoman hidup.
BAB III
KESIMPULAN
Al-Farabi mempunyai nama lain yaitu Abi Nashr Ibnu Audagh
Ibn Thorban Al-Farabi, ia dilahirkan di desa wasij, Kota Farab ( Transoxania)
pada tahun 257 H (870 M). Beliau adalah seorang muslim keturunan Persia,
ayahnya Muhammad Auzlaghadalah seorang Panglima Perang Persia yang kemudian
menetap di Damsyik dan Ibunya berasal dari Turki (Sidik, 1984:89). Al-Farabi
melewatkan masa remajanya di Farab.
Diantara
karyanya adalah : Al-Jami’u
Baina Ra’yani Al-Hkiman Afalatoni Al Hahiy wa Aristho-thails
(pertemuan/penggabungan pendapat antara Plato dan Aristoteles), Tahsilu
as Sa’adah (mencari kebahagiaan), As Suyasatu Al Madinah
(politik pemerintahan), Fususu Al Taram (hakikat
kebenaran), Arro’u Ahli Al Madinati Al
Fadilah (pemikiran-pemikiran utama pemerintahan), As Syiasyah (ilmu politik), dsb.
Emanasi ialah teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang
mumkin (alam makhluk) dari Zat yang wajibul wujud (Zat yang mesti adanya:
Tuhan). Teori emanasi disebut juga dengan nama “teori urut-urutan wujud”. Menurut
al-Farabi, Tuhan adalah pikiran yang bukan berupa benda.
Al-Farabi membagi jiwa menjadi tiga bagian: 1) Jiwa
tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya makan, tumbuh dan berkembang biak. 2) Jiwa
binatang yang mempunyai daya gerak, pindah dari satu tempat ke tempat, dan daya
menangkap dengan panca indra, 3) Jiwa manusia, yang mempunyai hanya satu daya,
yaitu berfikir yang disebut akal.
Pokok
filsafat kenegaraan Al-Farabi ialah autokrasi dengan seorang yang berkuasa
mutlak mengatur Negara. Menurut al-Farabi, Negara yang utama (al-Madinatul
fadilah) ialah kota (negara) yang warga-warganya tersusun menurut susunan alam
besar (makrokosmos) atau menurut susunan kecil (mikrokosmos)
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Daudy, Kuliah
Filsafat Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1989
A. Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemah.
Hanafi,
A, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam Cet.
IX, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Hermawan Heris, Filsafat
Islam, Bandung; CV Insan Mandiri, 2011.
Maftuhin, Filsafat
Islam, Yogyakarta: Teras, 2012
M. M. Syarif, Para
Filosof Muslim, Bandung: Mizan, 1996
Sudarsono, Filsafat
Ilsam, Jakarta: Rineka Cipta, 2010.
Supriyadi Dedi, Pengantar
Filsafat Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2009.
[4]Suryadi
Dedi, Op.Cit. h. 82.
[7]http://emthree09.blogspot.co.id/2013/10/pemikiran-epistemologi-al-farabi.html diakses tanggal 15 Januari 2016
[8]Hanafi, A, Pengantar Filsafat
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991) h. 92
[10]Departemen
Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemah.
[11]Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam
Islam Cet. Ke IX, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 27-28
[13]http://atibilombok.blogspot.co.id/2014/06/makalah-filsafat-islam-al-farabi.html?m=1 di akses tanggal 15 Januari 2016.
[15]http://anasarbinbarani.blogspot.co.id/2015/11/pemikiran-filsafat-al-farabi.html?m=1 di akses tanggal 15 Januari 2016
[19]M.
M. Syarif, Para Filosof Muslim,
(Bandung: Mizan, 1996), h. 77.
[22]Maftuhin,
Filsafat Islam…hlm. 103
[25]Ahmad
Daudy, Kuliah Filsafat Islam,
(Jakarta: PT Bulan Bintang, 1989), hlm. 51-53
Tidak ada komentar:
Posting Komentar