Senin, 04 April 2016

TINJAUAN ILMU ISLAM TENTANG TEORI KEBENARAN

TINJAUAN ILMU ISLAM TENTANG TEORI KEBENARAN

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Dalam lintas sejarah, manusia dalam kehidupannya senantiasa sibukkan oleh berbagai pertanyaan mendasar tentang dirinya. Pelbagai jawaban yang bersifat spekulatif coba diajukan oleh para pemikir sepanjang sejarah dan terkadang jawaban-jawaban yang diajukan saling kontradiksif satu dengan yang lainnya. Perdebatan mendasar yang sering menjadi bahan diskusi dalam sejarah kehidupan manusia adalah perdebatan seputar sumber dan asal usul pengetahuan dan kebenaran.[1] Filsafat dan agama sebagai dua kekuatan yang mewarnai dunia telah menawarkan konstruk epistemologi  yang berbeda dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang dihadapi manusia dalam kehidupannya.
Manusia hidup di dunia ini pada hakekatnya mempunyai keinginan untuk mencari pengetahuan dan kebenaran. Pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu. Pengetahuan menurut arti sempit sebuah keputusan yang benar dan pasti.[2] Penganut pragmatis, utamanya John Dewey  tidak membedakan antara pengetahuan dan kebenaran (antara knowledge dan truth).[3] Hal inilah yang kemudian menjadi kajian menarik epistemologi.
Epistemologi sebagai cabang dari ilmu filsafat mempelajari batas-batas pengetahuan dan asal-usul pengetahuan serta di kriteria kebenaran. Kata 'epistemologi' sendiri berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari dua kata, yaitu episteme (pengetahuan) dan logos (ilmu, pikiran, percakapan). Jadi epistemologi berarti ilmu, percakapan tentang pengetahuan atau ilmu pengetahuan[4]. Pokok persoalan dari kajian epistemologi adalah sumber, asal mula, dan sifat dasar pengetahuan; bidang, batas jangkauan pengetahuan. Oleh sebab itu, rangkaian pertanyaan yang biasa diajukan untuk mendalami permasalahan yang dipersoalkan di dalam epistemologi adalah; apakah pengetahuan itu, apakah yang menjadi sumber dan dasar pengetahuan? Apakah pengetahuan itu adalah kebenaran yang pasti ataukah hanya merupakan dugaan?[5]. Dengan kata lain, epistemologi berarti "studi atau teori tentang pengetahuan" (the study or theory of knowledge). Namun, dalam diskursus filsafat, epistemologi merupakan cabang dari filsafat yang membahas asal usul, struktur, metode-metode, dan  kebenaran pengetahuan. Selain itu, dapat pula dikatakan bahwa epistemologi adalah cabang dari filsafat yang secara khusus membahas "teori tentang pengetahuan".[6]
Pada awalnya, pembahasan dalam epistemologi lebih terfokus pada sumber pengetahuan (the origin of knowledge) dan teori tentang kebenaran (the theory of truth) pengetahuan. Pembahasan yang pertama berkaitan dengan suatu pertanyaan apakah pengetahuan itu bersumber pada akal pikiran semata (‘aqliyyah), pengalaman indera (tajri>biyyah), kritik (naqdiyyah) atau intuisi (hadasiyyah). Sementara itu, pembahasan yang kedua terfokus pada pertanyaan apakah "kebenaran" pengetahuan itu dapat digambarkan dengan pola korespondensi, koherensi atau praktis-pragmatis.  Selanjutnya, pembahasan dalam epistemologi mengalami perkembangan, yakni pembahasannya terfokus pada sumber pengetahuan, proses dan metode untuk memperoleh pengetauan, cara untuk membuktikan kebenaran pengetahuan, dan tingkat-tingkat kebenaran pengetahuan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa hakekat dan sumber pengetahuan?
2.      Bagaimana kebenaran dalam pandangan filsafat ilmu Islam?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Teori Pengetahuan
Hendrik Rapar, mengemukakan bahwa jenis pengetahuan itu dibagi tiga.[7] Sedangkan Burhanuddin Salam, sebagaimana dikutip oleh Amsal Bakhtiar jenis pengetahuan ada empat, yaitu:[8]
Pertama, pengetahuan biasa. Pengetahuan yang dalam filsafat dikatakan sebagai common sense, dan sering diartikan sebagai good sense, karena seseorang memiliki Sesutu di mana ia menerima secara baik. Semua orang menyebut warna ini putih karena memang itu merah. Air itu panas karena memang dipanasi dengan api. Makanan bisa mengganjal rasa lapar, dll. Common sense diperoleh dari pengalaman sehari-hari. Pengetahuan ini disebut dengan pengetahuan pra ilmiah dan nir ilmiah[9].
 Kedua, pengetahuan ilmu (science). Adalah pengetahuan yang diperoleh lewat penggunaan metode-metode ilmiah yang lebih menjamin kepastian kebenarannya. Ilmu pada hakikatnya merupakan usaha untuk mengorganisasikan commons sense, suatu pengetahuan yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode.
Ketiga, pengetahuan filsafat. Diperoleh lewat pemikiran rasional yang didasarkan pada pemahaman, spekulasi, penilaiaan kritis dan penafsiran[10]. Pengetahuan filsafat lebih menekankan pada universalitas dan kedalaman kajian tentang sesuatu. Kalau ilmu hanya pada satu bidang pengetahuan yang sempit dan rigit, filsafat membahas hal yang lebih luas dan mendalam. Filsafat biasanya memberikan pengetahuan yang reflektif dan kritis, sehingga ilmu yang tadinya kaku dan cenderung tertutup menjadi longgar kembali.[11]
Keempat, pengetahuan agama. Pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat para utusan-Nya. Pengetahuan agama bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama. Pengetahuan mengandung beberapa hal yang pokok, yaitu ajaran tentang cara berhubungan dengan Tuhan, yang disering disebut dengan hubungan secara vertikal (hablun min Alla>h), dan cara berhubungan dengan sesama manusia (hablun min al-na>s). Pengetahuan agama yang paling penting adalah pengetahuan tentang tuhan, selain itu tentang keyakinan (keimanan) dan syariat (implementasi dari keyakinan).[12] Pengetahuan ini sifat kebenarannya adalah mutlak karena berasal dari firman Tuhan dan sabda Nabi.

B.     Teori-teori Kebenaran
Menurut Purwadarminta kebenaran mengandung beberapa arti, yakni 1.Keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya); misal, kebenaran ini masih saya sangsikan; kita harus berani membela kebenaran dan keadilan. 2. Sesuatu yang benar (sungguh-sungghu ada, betul-betul demikian halnya dan sebagainya); misal kebenaran-kebenaran yang diajarkan oleh agama. 3. Kejujuran; kelurusan hati; misal tidak ada seorangpun sangsi akan kebaikan dan kebenaran hatimu. 4. Selalu izin; perkenanan; misal, dengan kebenaran yang dipertuan. 5. Jalan kebetulan; misal, penjahat itu dapat dibekuk dengan secara kebenaran saja.[13]
Adanya kebenaran itu selalu dihubungkan dengan pengetahuan manusia (subyek yang mengetahui) mengenai obyek.[14] Jadi, kebenaran ada pada seberapa jauh subjek mempunyai pengetahuan mengenai objek. Sedangkan pengetahuan bersal mula dari banyak sumber. Sumber-sumber itu kemudian sekaligus berfungsi sebagai ukuran kebenaran.
Telaah dalam filsafat ilmu, membawa orang kepada kebenaran dibagi dalam tiga jenis. Menurut A.M.W. Pranaka tiga jenis kebenaran itu adalah 1. Kebenaran epistimologikal; 2. Kebenaran ontologikal; 3. Kebenaran semantikal.[15]
Kebenaran epistimologikal adalah pengertian kebenaran dalam hubungannya dengan pengetahuan manusia. Kebenaran dalam arti ontoligikal adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat kepada segala sesuatu yang ada ataupun diadakan. Sifat dasar ini ada dalam objek pengetahuan. Kebenaran semenatikal adalah kebenaran yang terdapat serta melekat di dalam tutur kata dan bahasa. Kebenaran seantikal disebut juga kebenaran moral.
Surajiyo lebih lanjut menguraikan bahwa apabila epistemological terletak didalam adanya kemanunggalan yang sesuai, serasi,terpadu antara yang dinyatakan oleh proses cognitif intelektual manusia dengan apa yang sesungguhnya ada didalam objek (esse reale rei), apakah itu konkret atau abstrak, maka implikasinya adalah bahwa didalam (esse reale rei) tersebut memang terkandung sifat intelligibilitas (dapat diketahui kebenarannya). Hal adanya intelligibilitas sebagai kodrat yang melekat didalam objek,didalam benda, barang, makhluk dan sebagainya sebagai objek potensial maupun riil dari pengetahuan cognitive intelektual manusia itulah yang disebut kebenaran yang ontological, ialah sifat benar yang melekat dialam objek.
1.      Teori Korespondensi
Teori kebenaran korespondensi, Correspondence Theory of Truth yang kadang disebut dengan accordance theory of truth, adalah teori yang berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan yang ada di alam atau objek yang dituju pernyataan tersebut. Kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada kesesuaian (correspondence) antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju oleh pernyataan atau pendapat tersebut.[16] Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta. Suatu proposisi adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang sesuai dan menyatakan apa adanya.[17]
Teori ini sering diasosiasikan dengan teori-teori empiris pengetahuan. Teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal, sehingga dapat digolongkan ke dalam teori kebenaran tradisional karena Aristoteles sejak awal (sebelum abad Modern) mensyaratkan kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan atau realitas yang diketahuinya.[18]
Contoh teori  korespondensi, “Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab”. Ini adalah benar, karena jika didapati bahwa Al-Quran tertua berbahasa Yunani, maka konteks kebenaran Islam menurut Teori Kesesuaian ini adalah gagal. “Apakah pernyataan dalam Al-Quran sesuai dengan kenyataan atau realitas?” Banyak fenomena-fenomena alam yang sudah menjadi bukti tentang hal ini. Faktanya seluruh alam semesta berasal dari satu buah atom kecil yang meledak (Big Bang) menjadi banyak planet dan sebagainya. Teori Big Bang ini ditemukan oleh Hobble pada abad ke 20 yaitu tahun 1929. Teori ini sesuai dengan al-Qur’an yang berbunyi :
óOs9urr& ttƒ tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. ¨br& ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur $tFtR%Ÿ2 $Z)ø?u $yJßg»oYø)tFxÿsù ( $oYù=yèy_ur z`ÏB Ïä!$yJø9$# ¨@ä. >äóÓx« @cÓyr ( Ÿxsùr& tbqãZÏB÷sムÇÌÉÈ
Terjemahnya:   “Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi dahulu keduanya menyatu, kemudian kami pisajkan antara keduanya” (QS. Al Anbiya’ : 30)[19]

Dengan demikian, Al-Quran yang ada sejak abad ke 7 ini sesuai dengan perkembangan sains pada abad ke 20. Maka Islam adalah benar menurut Teori Korespondensi.
2.      Teori Koherensi
Teori kebenaran koherensi atau konsistensi adalah teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren atau konsistensi. Suatu pernyataan disebut benar bila sesuai dengan jaringan komprehensif dari pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara logis. Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta dan realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri.[20]
Teori ini berpendapat bahwa kebenaran ialah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan diakui sebagai benar. Suatu proposisi benar jika proposisi itu berhubungan (koheren) dengan proposisi-proposisi lain yang benar atau pernyataan tersebut bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.[21] Dengan demikian suatu putusan dianggap benar apabila mendapat penyaksian (pembenaran) oleh putusan-putusan lainnya yang terdahulu yang sudah diketahui, diterima dan diakui benarnya. Karena sifatnya demikian, teori ini mengenal tingkat-tingkat kebenaran. Disini derajar koherensi merupakan ukuran bagi derajat kebenaran.[22] Misal, Semua manusia membutuhkan air,  Ahmad adalah seorang manusia, Jadi, Ahmad membutuhkan air.
Suatu proposisi itu cenderung benar jika proposisi itu coherent (saling berhubungan) dengan proposisi-proposisi lain yang benar, atau jika arti yang dikandung oleh proposisi coherent dengan pengalaman kita. Bakhtiar sebagai mana dikutip dari Aholiab Watholi, memberikan standarisasi kepastian kebenaran dengan sekurang-kurangnya memiliki empat pengertian, dimana satu keyakinan tidak dapat diragukan kebenarannya sehingga disebut pengetahuan. Pertama, pengertian yang bersifat psikologis. Kedua, pengertian yang bersifat logis. Ketiga, menyamakan kepastian dengan keyakinan yang tidak dapat dikoreksi. Keempat, pengertian akan kepastian yang digunakan dalam pembicaraan umum, di mana hal itu di artikan sebagai kepastian yang didasarkan pada nalar yang tidak dapat diragukan lagi.[23]
Berbeda dengan teori korespondensi yang dianut oleh penganut realism dan matrealisme, teori koherensi atau konsistensi ini berkembang pada abad ke-19 dibawah pengaruh hegel dan diikuti oleh pengikut madzhab idealism. Dia antaranya seorang filsuf Britania F. M Bradley (1864-1924).[24] Idealisme epistemologi berpandangan bahwa obyek pengetahuan, atau kualitas yang kita serap dengan indera kita itu tidaklah berwujud terlepas dari kesadaran tentang objek tersebut. Karenanya, teori ini lebih sering disebut dengan istilah subjektivisme. Pemegang teori ini, atau kaum idealism berpegang, kebenaran itu tergantung pada orang yang menentukan sendiri kebenaran pengetahuannya tanpa memandang keadaan real peristiwa-peristiwa. Manusia adalah ukuran segala-galanya, dengan cara demikianlah interpretasi tentang kebenaran telah dirumuskan kaum idealisme.[25]
Contoh konsistensi Al-Quran dan Hadits:
Sabda Rasulullah dalam Hadits Riwayat At-Tirmidzi
 Jika seorang hamba berzina, maka keimanan keluar dari dirinya. Keimanan itu letaknya diatas kepalanya seperti sebuah payung. Jika dia meninggalkan perbuatan zina itu, maka keimanan itu akan kembali kepada dirinya.”

Firman Allah dalam Al-Quran Surrah Al-Isra 17:32
“Dan janganlah kamu mendekati zina, (sebab zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.”

3.      Teori Pragmatisme
Pramagtisme berasal dari bahawa Yunan pragmai, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan, sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James di Amerika Serikat.[26] Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya suatu dalil atau teori tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk kehidupannya. Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.[27]
Pragmatism merupakan aliran filsafat yang lahir di Amerika serikat akhir abad ke-19, yang menekankan pentingnya akal budi (rasio) sebagai sarana pemecahan masalah (problem solving) dalam kehidupan manusia baik masalah yang bersifat teoritis maupun praktis. Tokoh pragmatism awal adalah Charles Sander Pierce (1834-1914) yang dikenal juga sebagai tokoh semiotic, William James[28] (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952).[29]
Amsal (2012) menyatakan, menurut teori pragmatis, kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis manusia. Dalam artian, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia.[30] Teori, hepotesa atau ide adalah benar apabila ia membawa kepada akibat yang memuaskan, apabila ia berlaku dalam praktik, apabila ia mempunyai nilai praktis.[31] Misal teori pragmatisme dalam dunia pendidikan, di UIN ALAUDDIN, prinsip kepraktisan (practicality) dalam memperoleh pekerjaan telah mempengaruhi jumlah mahasiswa baru pada masing-masing Jurusan. Tarbiyah menjadi fovorit, karena menurut masyarakat lulus dari Jurusan Tarbiyah bisa menjadi guru dan mendapatkan sertifikasi guru. Missal dalam agama Islam , kita bisa bertanya dengan lugas dan tegas “Apakah agamamu bisa memberikan manfaat untuk saya jika saya menganutnya?” atau “Apakah agama bisa memberikan manfaat bagi penganutnya?” Banyak sekali contohnya, misalkan dari segi berpuasa. Puasa membantu proses detoksifikasi tubuh.
4.      Teori Performatif
Teori ini berasal dari John Langshaw Austin (1911-1960)[32] dan dianut oleh filsuf lain seperti Frank Ramsey, dan Peter Strawson. Filsuf-filsuf ini mau menentang teori klasik bahwa “benar” dan “salah” adalah ungkapan yang hanya menyatakan sesuatu (deskriptif). Proposisi yang benar berarti proposisi itu menyatakan sesuatu yang memang dianggap benar. Demikian sebaliknya. Namun justeru inilah yang ingin ditolak oleh para filsuf ini.[33]
Teori performatif menjelaskan, suatu pernyataan dianggap benar jika ia menciptakan realitas. Jadi pernyataan yang benar bukanlah pernyataan yang mengungkapkan realitas, tetapi justeru dengan pernyataan itu tercipta realitas sebagaimana yang diungkapkan dalam pernyataan itu. Teori ini disebut juga “tindak bahasa” mengaitkan kebenaran satu tindakan yang dihubungkan dengan satu pernyataan.[34] Misalnya, “Dengan ini saya mengangkat anda sebagai manager perusahaan “Species S3”. Dengan pernyataan itu tercipta sebuah realitas baru yaitu anda sebagai manager perusahaan “Species S3”, tentunya setelah SKnya turun. Di sini ada perbuatan yang dilakukan bersamaan dengan pengucapan kata-kata itu. Dengan pernyataan itu suatu penampilan atau perbuatan (performance) dilakukan.
Teori ini dapat diimplementasikan secara positif, tetapi di pihak lain dapat pula negatif. Secara positif, dengan pernyataan tertentu, orang berusaha mewujudkan apa yang dinyatakannya.[35] Misal, “Saya bersumpah akan menjadi dosen yang baik”. Tetapi secara negatif, orang dapat pula terlena dengan pernyataan atau ungkapannya seakan pernyataan tersebut sama dengan realitas begitu saja.
5.      Kebenaran Proporsi
Menurut Aristoteles, proposisi (pernyataan) dikatakan benar apabila sesuai dengan persyaratan formal suatu proposisi. Menurut teori ini, suatu pernyataan disebut benar apabila sesuai dengan persyaratan materilnya suatu proposisi, bukan pada syarat formal proposisi. Kebenaran ini akan sangat tergantung pada situasi dan kondisi yang melatarinya, pengalaman, kemampuan, dan usia mempengarauhi kepemilikan epistimo tentang kebenaran.[36]
Proposisi adalah kalimat deklaratif yang bernilai benar (true) atau salah (false), tetapi tidak dapat sekaligus keduanya. Kebenaran atau kesalahan dari sebuah kalimat disebut nilai kebenarannya (truth value).  Contoh berikut ini dapat mengilustrasikan kalimat yang merupakan kebenaran proposisi: 6 adalah bilangan genap, Soekarno adalah Presiden Indonesia yang pertama, 2 + 2 = 4. Sementara contoh berikut adalah contah yang salah: ibu kota Jawa Tengah adalah Pekalongan,  seharusnya ibu kota Jawa Tengah adalah Semarang.

C.    Agama Sebagai Teori Kebenaran
Pada hakekatnya, manusia hidup di dunia ini adalah sebagai makhluk yang suka mencari kebenaran. Salah satu cara untuk menemukan suatu kebenaran adalah agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia; baik tentang alam, manusia, maupun tentang Tuhan. Dalam mendapatkan kebenaran menurut teori agama adalah wahyu yang bersumber dari Tuhan.[37]
Manusia dalam mencari dan menentukan kebenaran sesuatu dalam agama dengan cara mempertanyakan atau mencari jawaban berbagai masalah kepada kitab Suci. Dengan demikian, sesuatu hal dianggap benar apabila sesuai dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentuk kebenaran mutlak.


BAB III
PENUTUP
Dari apa yang telah tersaji di atas, disimpulkan bahwa epistemologi merupakan cabang dari ilmu filsafat mempelajari batas-batas pengetahuan dan asal-usul pengetahuan serta di kriteria kebenaran. Pembahasan dalam epistemologi lebih terfokus pada sumber pengetahuan (the origin of knowledge) dan teori tentang kebenaran (the theory of truth) pengetahuan. Pembahasan yang pertama telah menjawab suatu pertanyaan apakah pengetahuan itu bersumber pada akal pikiran semata (aqliyyah), indera (tajribiyyah), kritik (naqdiyyah) dan intuisi (hadasiyyah).
Fokus lain pada pembahasan epistemologi di atas adalah tentang teori-teori kebenaran pengetahuan, dapat digambarkan teori-teori itu adalah korespondensi, koherensi, praktis-pragmatis dan performatif.  Selanjutnya, pembahasan dalam epistemologi mengalami perkembangan, yakni pembahasannya terfokus pada sumber pengetahuan, proses dan metode untuk memperoleh pengetauan, cara untuk membuktikan kebenaran pengetahuan, dan tingkat-tingkat kebenaran pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Loren, Kamus Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002.

Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012.

Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Al Huda, 2005.

al-Hifni, Abdul Mun'im, Mausuah al-Falsafah wa al-Falasifah, Juz 1, Kairo; Maktabah Madbuli, 1999.

Lubis, Akhyar Yusuf, Filsafat Ilmu; Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta: Rajawali Pers, 2014.

Mudhafir, Noeng, Filsafat Ilmu:Positivisme, Post Positivisme dan Post Modernisme, Ed.II; Yogyakarta: Rakesarasin, 2001.

Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Filsafat, Cet. VI; Yogyakarta; Kanisius, 2002.

Salam, Burhanuddin, Pengantar Filsafat, Jakarta: Bumi Aksara, 2000).

Shadr, Muhammad Baqir, Falsafatuna, Diterjemahkan oleh M. Nur Mufid Ali, Cet. IV; Bandung: Mizan, 1994.

Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Cet. V; Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010.

Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, Cet. XIII; Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000.

Susanto, A., Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, Jakarta: Bumi Aksara, 2011.








[1]Muhammad Baqir Shadr, Falsafatuna, Diterjemahkan oleh M. Nur Mufid Ali, (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1994) h. 25
[2]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), h.85.
[3]Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h. 28.
[4]Abdul Mun'im al-Hifni, Mausuah al-Falsafah wa al-Falasifah, (juz 1, Kairo; Maktabah Madbuli, 1999), h. 19.
[5]Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, (Cet. VI; Yogyakarta; Kanisius, 2002), h. 38.
[6]Loren Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002. H. 212-213.
[7]Jan Hendrik Rapar, Loc.Cit.
[8]Amsal Bahtiar, Op.Cit. h. 87-88.
[9]Jan Hendrik Rapar, Loc.Cit.
[10]Ibid, 38-39.
[11]Amsal Bakhtiar, Op.Cit. h. 88.
[12]Ibid. h. 89
[13]Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Cet. V; Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), h. 102.
[14]A.Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 85.
[15]Surajiyo, Loc.Cit.
[16]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, (Cet. XIII; Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), h. 57.
[17]Amsal Bakhtiar, Op.Cit., h.112.
[18]Noeng Mudhafir, Filsafat Ilmu:Positivisme, Post Positivisme dan Post Modernisme, (Ed.II; Yogyakarta: Rakesarasin, 2001), h. 20.
[19]Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Al Huda, 2005), h. 324.
[20]Amsal Bakhtiar,Op.Cit., h. 116
[21]Jujun S. Suriasumantri, Op.Cit. h. 55.
[22]Ibid. h.56.
[23] Amsal Bakhtiar, Loc.Cit.
[24] Ibid, h. 117.
[25] A. Susanto, Loc.Cit.
[26] A Susanto, Ibid. h.86.
[27] Jujun S. Suriasumantri, Op.Cit. h. 58.
[28]Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu; Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 52
[29]Ibid, 53.
[30]Amsal Bakhtiar, Op.Cit. h. 115.
[31]Noeng Muhajir, Loc.Cit.
[32]Akhyar Yusuf Lubis, Op.Cit. h. 54.
[33]Jujun S. Suraisumantri, Op.Cit. h. 59.
[34]Akhyar Lubis, Op.Cit, h., 55.
[35]A Susanto, Op.Cit. h. 87.
[36]Ibid. h. 88.
[37]Amsal Bakhtiar, Op.Cit. h. 121.

1 komentar:

Perkembangan Turki Abad 21

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Masalah Orang-orang Turki merasa lekat dengan agama yang mereka anut semenjak berabad-abad la...