TINJAUAN ILMU ISLAM TENTANG TEORI
KEBENARAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam lintas sejarah,
manusia dalam kehidupannya senantiasa sibukkan oleh berbagai pertanyaan
mendasar tentang dirinya. Pelbagai jawaban yang bersifat spekulatif coba
diajukan oleh para pemikir sepanjang sejarah dan terkadang jawaban-jawaban yang
diajukan saling kontradiksif satu dengan yang lainnya. Perdebatan mendasar yang
sering menjadi bahan diskusi dalam sejarah kehidupan manusia adalah perdebatan
seputar sumber dan asal usul pengetahuan dan kebenaran.[1]
Filsafat dan agama sebagai dua kekuatan yang mewarnai dunia telah menawarkan
konstruk epistemologi yang berbeda dalam menjawab
permasalahan-permasalahan yang dihadapi manusia dalam kehidupannya.
Manusia hidup di
dunia ini pada hakekatnya mempunyai keinginan untuk mencari pengetahuan dan
kebenaran. Pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu.
Pengetahuan menurut arti sempit sebuah keputusan yang benar dan pasti.[2]
Penganut pragmatis, utamanya John Dewey tidak membedakan antara
pengetahuan dan kebenaran (antara knowledge dan truth).[3]
Hal inilah yang kemudian menjadi kajian menarik epistemologi.
Epistemologi sebagai cabang dari ilmu
filsafat mempelajari batas-batas pengetahuan dan asal-usul pengetahuan serta di
kriteria kebenaran. Kata 'epistemologi' sendiri berasal dari bahasa Yunani,
terdiri dari dua kata, yaitu episteme (pengetahuan) dan logos (ilmu,
pikiran, percakapan). Jadi epistemologi berarti ilmu, percakapan tentang
pengetahuan atau ilmu pengetahuan[4].
Pokok persoalan dari kajian epistemologi adalah sumber, asal mula, dan sifat
dasar pengetahuan; bidang, batas jangkauan pengetahuan. Oleh sebab itu,
rangkaian pertanyaan yang biasa diajukan untuk mendalami permasalahan yang
dipersoalkan di dalam epistemologi adalah; apakah pengetahuan itu, apakah yang
menjadi sumber dan dasar pengetahuan? Apakah pengetahuan itu adalah kebenaran
yang pasti ataukah hanya merupakan dugaan?[5].
Dengan kata lain, epistemologi berarti "studi atau teori tentang
pengetahuan" (the study or theory of knowledge). Namun, dalam
diskursus filsafat, epistemologi merupakan cabang dari filsafat yang membahas
asal usul, struktur, metode-metode, dan kebenaran pengetahuan. Selain
itu, dapat pula dikatakan bahwa epistemologi adalah cabang dari filsafat yang
secara khusus membahas "teori tentang pengetahuan".[6]
Pada awalnya,
pembahasan dalam epistemologi lebih terfokus pada sumber pengetahuan (the
origin of knowledge) dan teori tentang kebenaran (the theory of truth)
pengetahuan. Pembahasan yang pertama berkaitan dengan suatu pertanyaan apakah
pengetahuan itu bersumber pada akal pikiran semata (‘aqliyyah),
pengalaman indera (tajri>biyyah), kritik (naqdiyyah) atau
intuisi (hadasiyyah). Sementara itu, pembahasan yang kedua terfokus pada
pertanyaan apakah "kebenaran" pengetahuan itu dapat digambarkan
dengan pola korespondensi, koherensi atau praktis-pragmatis. Selanjutnya,
pembahasan dalam epistemologi mengalami perkembangan, yakni pembahasannya
terfokus pada sumber pengetahuan, proses dan metode untuk memperoleh
pengetauan, cara untuk membuktikan kebenaran pengetahuan, dan tingkat-tingkat
kebenaran pengetahuan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa hakekat dan sumber pengetahuan?
2.
Bagaimana kebenaran dalam pandangan filsafat ilmu Islam?

PEMBAHASAN
A.
Teori Pengetahuan
Hendrik Rapar, mengemukakan bahwa jenis pengetahuan itu dibagi tiga.[7]
Sedangkan Burhanuddin Salam, sebagaimana dikutip oleh Amsal Bakhtiar jenis
pengetahuan ada empat, yaitu:[8]
Pertama, pengetahuan biasa. Pengetahuan yang dalam filsafat dikatakan
sebagai common sense, dan sering diartikan sebagai good sense,
karena seseorang memiliki Sesutu di mana ia menerima secara baik. Semua
orang menyebut warna ini putih karena memang itu merah. Air itu panas karena
memang dipanasi dengan api. Makanan bisa mengganjal rasa lapar, dll. Common
sense diperoleh dari pengalaman sehari-hari. Pengetahuan ini disebut dengan
pengetahuan pra ilmiah dan nir ilmiah[9].
Kedua, pengetahuan ilmu (science).
Adalah pengetahuan yang diperoleh lewat penggunaan metode-metode ilmiah yang
lebih menjamin kepastian kebenarannya. Ilmu pada hakikatnya merupakan usaha
untuk mengorganisasikan commons sense, suatu pengetahuan yang berasal dari
pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, dilanjutkan
dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai
metode.
Ketiga, pengetahuan filsafat. Diperoleh lewat pemikiran rasional yang
didasarkan pada pemahaman, spekulasi, penilaiaan kritis dan penafsiran[10].
Pengetahuan filsafat lebih menekankan pada universalitas dan kedalaman kajian
tentang sesuatu. Kalau ilmu hanya pada satu bidang pengetahuan yang sempit dan
rigit, filsafat membahas hal yang lebih luas dan mendalam. Filsafat biasanya
memberikan pengetahuan yang reflektif dan kritis, sehingga ilmu yang tadinya
kaku dan cenderung tertutup menjadi longgar kembali.[11]
Keempat, pengetahuan agama. Pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat para utusan-Nya. Pengetahuan agama bersifat mutlak dan wajib
diyakini oleh para pemeluk agama. Pengetahuan mengandung beberapa hal yang
pokok, yaitu ajaran tentang cara berhubungan dengan Tuhan, yang disering
disebut dengan hubungan secara vertikal (hablun min Alla>h), dan cara
berhubungan dengan sesama manusia (hablun min al-na>s). Pengetahuan
agama yang paling penting adalah pengetahuan tentang tuhan, selain itu tentang
keyakinan (keimanan) dan syariat (implementasi dari keyakinan).[12]
Pengetahuan ini sifat kebenarannya adalah mutlak karena
berasal dari firman Tuhan dan sabda Nabi.
B.
Teori-teori Kebenaran
Menurut Purwadarminta kebenaran
mengandung beberapa arti, yakni 1.Keadaan (hal dan sebagainya) yang benar
(cocok dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya); misal, kebenaran ini masih
saya sangsikan; kita harus berani membela kebenaran dan keadilan. 2. Sesuatu
yang benar (sungguh-sungghu ada, betul-betul demikian halnya dan sebagainya); misal
kebenaran-kebenaran yang diajarkan oleh agama. 3. Kejujuran; kelurusan hati;
misal tidak ada seorangpun sangsi akan kebaikan dan kebenaran hatimu. 4. Selalu
izin; perkenanan; misal, dengan kebenaran yang dipertuan. 5. Jalan kebetulan;
misal, penjahat itu dapat dibekuk dengan secara kebenaran saja.[13]
Adanya
kebenaran itu selalu dihubungkan dengan pengetahuan manusia (subyek yang
mengetahui) mengenai obyek.[14] Jadi,
kebenaran ada pada seberapa jauh subjek mempunyai pengetahuan mengenai objek.
Sedangkan pengetahuan bersal mula dari banyak sumber. Sumber-sumber itu
kemudian sekaligus berfungsi sebagai ukuran kebenaran.
Telaah dalam filsafat ilmu, membawa
orang kepada kebenaran dibagi dalam tiga jenis. Menurut A.M.W. Pranaka tiga
jenis kebenaran itu adalah 1. Kebenaran epistimologikal; 2. Kebenaran ontologikal; 3. Kebenaran semantikal.[15]
Kebenaran epistimologikal adalah pengertian kebenaran dalam
hubungannya dengan pengetahuan manusia. Kebenaran dalam arti ontoligikal adalah
kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat kepada segala sesuatu yang ada
ataupun diadakan. Sifat dasar ini ada dalam objek pengetahuan. Kebenaran
semenatikal adalah kebenaran yang terdapat serta melekat di dalam tutur kata
dan bahasa. Kebenaran seantikal disebut juga kebenaran moral.
Surajiyo lebih lanjut menguraikan bahwa
apabila epistemological terletak didalam adanya kemanunggalan yang sesuai,
serasi,terpadu antara yang dinyatakan oleh proses cognitif intelektual
manusia dengan apa yang sesungguhnya ada didalam objek (esse reale rei), apakah
itu konkret atau abstrak, maka implikasinya adalah bahwa didalam (esse reale
rei) tersebut memang terkandung sifat intelligibilitas (dapat diketahui
kebenarannya). Hal adanya intelligibilitas sebagai kodrat yang melekat didalam
objek,didalam benda, barang, makhluk dan sebagainya sebagai objek potensial
maupun riil dari pengetahuan cognitive intelektual manusia itulah yang disebut
kebenaran yang ontological, ialah sifat benar yang melekat dialam objek.
1.
Teori Korespondensi
Teori kebenaran korespondensi, Correspondence
Theory of Truth yang kadang disebut dengan accordance theory of truth,
adalah teori yang berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan adalah benar jika
berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan yang ada di alam atau objek
yang dituju pernyataan tersebut. Kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada
kesesuaian (correspondence) antara arti yang dimaksud oleh suatu
pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju oleh pernyataan atau pendapat
tersebut.[16]
Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika ada kesesuaian antara arti
yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta. Suatu proposisi adalah benar
apabila terdapat suatu fakta yang sesuai dan menyatakan apa adanya.[17]
Teori ini sering diasosiasikan dengan
teori-teori empiris pengetahuan. Teori kebenaran korespondensi adalah teori
kebenaran yang paling awal, sehingga dapat digolongkan ke dalam teori kebenaran
tradisional karena Aristoteles sejak awal (sebelum abad Modern) mensyaratkan
kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan atau realitas yang
diketahuinya.[18]
Contoh teori korespondensi, “Al-Quran diturunkan dalam bahasa
Arab”. Ini adalah benar, karena jika didapati bahwa Al-Quran tertua berbahasa
Yunani, maka konteks kebenaran Islam menurut Teori Kesesuaian ini adalah gagal.
“Apakah pernyataan dalam Al-Quran sesuai dengan kenyataan atau realitas?”
Banyak fenomena-fenomena alam yang sudah menjadi bukti tentang hal ini.
Faktanya seluruh alam semesta berasal dari satu buah atom kecil yang meledak
(Big Bang) menjadi banyak planet dan sebagainya. Teori Big Bang ini ditemukan
oleh Hobble pada abad ke 20 yaitu tahun 1929. Teori ini sesuai dengan
al-Qur’an yang berbunyi :
óOs9urr& tt
tûïÏ%©!$#
(#ÿrãxÿx. ¨br&
ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur $tFtR%2
$Z)ø?u $yJßg»oYø)tFxÿsù
( $oYù=yèy_ur z`ÏB
Ïä!$yJø9$# ¨@ä.
>äóÓx« @cÓyr ( xsùr& tbqãZÏB÷sã ÇÌÉÈ
Terjemahnya: “Dan
apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi dahulu keduanya
menyatu, kemudian kami pisajkan antara keduanya” (QS. Al Anbiya’ : 30)[19]
Dengan demikian, Al-Quran yang ada
sejak abad ke 7 ini sesuai dengan perkembangan sains pada abad ke 20. Maka
Islam adalah benar menurut Teori Korespondensi.
2.
Teori Koherensi
Teori kebenaran koherensi atau
konsistensi adalah teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren atau
konsistensi. Suatu pernyataan disebut benar bila sesuai dengan jaringan
komprehensif dari pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara logis. Menurut
teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan dengan sesuatu
yang lain, yaitu fakta dan realitas, tetapi atas hubungan antara
putusan-putusan itu sendiri.[20]
Teori ini berpendapat bahwa kebenaran
ialah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya
yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan diakui sebagai benar. Suatu
proposisi benar jika proposisi itu berhubungan (koheren) dengan
proposisi-proposisi lain yang benar atau pernyataan tersebut bersifat koheren
atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.[21]
Dengan demikian suatu putusan dianggap benar apabila mendapat penyaksian
(pembenaran) oleh putusan-putusan lainnya yang terdahulu yang sudah diketahui, diterima dan diakui benarnya. Karena
sifatnya demikian, teori ini mengenal tingkat-tingkat kebenaran. Disini derajar
koherensi merupakan ukuran bagi derajat kebenaran.[22]
Misal, Semua manusia membutuhkan air, Ahmad adalah seorang manusia, Jadi,
Ahmad membutuhkan air.
Suatu proposisi itu cenderung benar
jika proposisi itu coherent (saling berhubungan) dengan
proposisi-proposisi lain yang benar, atau jika arti yang dikandung oleh
proposisi coherent dengan pengalaman kita. Bakhtiar sebagai mana dikutip
dari Aholiab Watholi, memberikan standarisasi kepastian kebenaran dengan
sekurang-kurangnya memiliki empat pengertian, dimana satu keyakinan tidak dapat
diragukan kebenarannya sehingga disebut pengetahuan. Pertama, pengertian
yang bersifat psikologis. Kedua, pengertian yang bersifat logis. Ketiga,
menyamakan kepastian dengan keyakinan yang tidak dapat dikoreksi. Keempat,
pengertian akan kepastian yang digunakan dalam pembicaraan umum, di mana hal
itu di artikan sebagai kepastian yang didasarkan pada nalar yang tidak dapat
diragukan lagi.[23]
Berbeda dengan teori korespondensi yang
dianut oleh penganut realism dan matrealisme, teori koherensi atau konsistensi
ini berkembang pada abad ke-19 dibawah pengaruh hegel dan diikuti oleh pengikut
madzhab idealism. Dia antaranya seorang filsuf Britania F. M Bradley
(1864-1924).[24]
Idealisme epistemologi berpandangan bahwa obyek pengetahuan, atau kualitas yang
kita serap dengan indera kita itu tidaklah berwujud terlepas dari kesadaran
tentang objek tersebut. Karenanya, teori ini lebih sering disebut dengan
istilah subjektivisme. Pemegang teori ini, atau kaum idealism berpegang,
kebenaran itu tergantung pada orang yang menentukan sendiri kebenaran
pengetahuannya tanpa memandang keadaan real peristiwa-peristiwa. Manusia adalah
ukuran segala-galanya, dengan cara demikianlah interpretasi tentang kebenaran
telah dirumuskan kaum idealisme.[25]
Contoh konsistensi Al-Quran
dan Hadits:
Sabda Rasulullah dalam Hadits
Riwayat At-Tirmidzi
“Jika
seorang hamba berzina, maka keimanan keluar dari dirinya. Keimanan itu letaknya
diatas kepalanya seperti sebuah payung. Jika dia meninggalkan perbuatan zina
itu, maka keimanan itu akan kembali kepada dirinya.”
Firman Allah dalam Al-Quran Surrah
Al-Isra 17:32
“Dan janganlah kamu mendekati zina, (sebab
zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.”
3.
Teori Pragmatisme
Pramagtisme berasal dari bahawa Yunan
pragmai, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan, sebutan
bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James di Amerika Serikat.[26]
Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide
dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar
tidaknya suatu dalil atau teori tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau
teori tersebut bagi manusia untuk kehidupannya. Kebenaran suatu pernyataan
harus bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.[27]
Pragmatism merupakan aliran filsafat
yang lahir di Amerika serikat akhir abad ke-19, yang menekankan pentingnya akal
budi (rasio) sebagai sarana pemecahan masalah (problem solving) dalam
kehidupan manusia baik masalah yang bersifat teoritis maupun praktis. Tokoh
pragmatism awal adalah Charles Sander Pierce (1834-1914) yang dikenal juga
sebagai tokoh semiotic, William James[28]
(1842-1910) dan John Dewey (1859-1952).[29]
Amsal (2012) menyatakan, menurut teori
pragmatis, kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan
tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis manusia. Dalam artian,
suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari
pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia.[30]
Teori, hepotesa atau ide adalah benar apabila ia membawa kepada akibat yang
memuaskan, apabila ia berlaku dalam praktik, apabila ia mempunyai nilai
praktis.[31]
Misal teori pragmatisme dalam dunia pendidikan, di UIN ALAUDDIN, prinsip kepraktisan (practicality)
dalam memperoleh pekerjaan telah mempengaruhi jumlah mahasiswa baru pada
masing-masing Jurusan. Tarbiyah menjadi fovorit, karena menurut masyarakat
lulus dari Jurusan Tarbiyah bisa menjadi guru dan mendapatkan sertifikasi guru. Missal dalam agama Islam , kita bisa bertanya dengan lugas dan tegas “Apakah agamamu
bisa memberikan manfaat untuk saya jika saya menganutnya?” atau “Apakah agama
bisa memberikan manfaat bagi penganutnya?” Banyak sekali contohnya,
misalkan dari segi berpuasa. Puasa membantu proses detoksifikasi tubuh.
4.
Teori Performatif
Teori ini berasal dari John Langshaw
Austin (1911-1960)[32]
dan dianut oleh filsuf lain seperti Frank Ramsey,
dan Peter Strawson. Filsuf-filsuf ini mau menentang teori klasik bahwa “benar”
dan “salah” adalah ungkapan yang hanya menyatakan sesuatu (deskriptif).
Proposisi yang benar berarti proposisi itu menyatakan sesuatu yang memang
dianggap benar. Demikian sebaliknya. Namun justeru inilah yang ingin ditolak
oleh para filsuf ini.[33]
Teori performatif
menjelaskan, suatu pernyataan dianggap benar jika ia menciptakan realitas. Jadi
pernyataan yang benar bukanlah pernyataan yang mengungkapkan realitas, tetapi
justeru dengan pernyataan itu tercipta realitas sebagaimana yang diungkapkan
dalam pernyataan itu. Teori ini disebut juga “tindak bahasa” mengaitkan
kebenaran satu tindakan yang dihubungkan dengan satu pernyataan.[34] Misalnya, “Dengan ini
saya mengangkat anda sebagai manager perusahaan “Species S3”. Dengan pernyataan
itu tercipta sebuah realitas baru yaitu anda sebagai manager perusahaan
“Species S3”, tentunya setelah SKnya turun. Di sini ada
perbuatan yang dilakukan bersamaan dengan pengucapan kata-kata itu. Dengan
pernyataan itu suatu penampilan atau perbuatan (performance) dilakukan.
Teori ini dapat
diimplementasikan secara positif, tetapi di pihak lain dapat pula negatif.
Secara positif, dengan pernyataan tertentu, orang berusaha mewujudkan apa yang
dinyatakannya.[35]
Misal, “Saya bersumpah akan menjadi dosen yang baik”. Tetapi secara negatif,
orang dapat pula terlena dengan pernyataan atau ungkapannya seakan pernyataan
tersebut sama dengan realitas begitu saja.
5.
Kebenaran Proporsi
Menurut Aristoteles, proposisi
(pernyataan) dikatakan benar apabila sesuai dengan persyaratan formal suatu proposisi. Menurut teori ini, suatu pernyataan
disebut benar apabila sesuai dengan persyaratan materilnya suatu proposisi,
bukan pada syarat formal proposisi. Kebenaran ini akan sangat tergantung pada
situasi dan kondisi yang melatarinya, pengalaman, kemampuan, dan usia
mempengarauhi kepemilikan epistimo tentang kebenaran.[36]
Proposisi adalah kalimat deklaratif
yang bernilai benar (true) atau salah (false), tetapi tidak dapat sekaligus
keduanya. Kebenaran atau kesalahan dari sebuah kalimat disebut nilai
kebenarannya (truth value). Contoh berikut ini dapat mengilustrasikan
kalimat yang merupakan kebenaran proposisi: 6 adalah bilangan genap, Soekarno adalah
Presiden Indonesia yang pertama, 2 + 2 = 4. Sementara contoh berikut adalah
contah yang salah: ibu kota Jawa Tengah adalah Pekalongan, seharusnya ibu kota Jawa Tengah adalah
Semarang.
C.
Agama Sebagai
Teori Kebenaran
Pada
hakekatnya, manusia hidup di dunia ini adalah sebagai makhluk yang suka mencari
kebenaran. Salah satu cara untuk menemukan suatu kebenaran adalah agama. Agama
dengan karakteristiknya sendiri memberikan jawaban atas segala persoalan asasi
yang dipertanyakan manusia; baik tentang alam, manusia, maupun tentang Tuhan.
Dalam mendapatkan kebenaran menurut teori agama adalah wahyu yang bersumber
dari Tuhan.[37]
Manusia
dalam mencari dan menentukan kebenaran sesuatu dalam agama dengan cara
mempertanyakan atau mencari jawaban berbagai masalah kepada kitab Suci. Dengan
demikian, sesuatu hal dianggap benar apabila sesuai dengan ajaran agama atau
wahyu sebagai penentuk kebenaran mutlak.

PENUTUP
Dari
apa yang telah tersaji di atas, disimpulkan bahwa epistemologi merupakan cabang dari ilmu filsafat mempelajari batas-batas
pengetahuan dan asal-usul pengetahuan serta di kriteria kebenaran.
Pembahasan
dalam epistemologi lebih terfokus pada sumber pengetahuan (the origin of
knowledge) dan teori tentang kebenaran (the theory of truth)
pengetahuan. Pembahasan yang pertama telah menjawab suatu pertanyaan apakah
pengetahuan itu bersumber pada akal pikiran semata (aqliyyah), indera (tajribiyyah),
kritik (naqdiyyah) dan intuisi (hadasiyyah).
Fokus lain pada pembahasan epistemologi di atas
adalah tentang teori-teori kebenaran pengetahuan, dapat digambarkan teori-teori
itu adalah korespondensi, koherensi, praktis-pragmatis dan performatif.
Selanjutnya, pembahasan dalam epistemologi mengalami perkembangan, yakni
pembahasannya terfokus pada sumber pengetahuan, proses dan metode untuk
memperoleh pengetauan, cara untuk membuktikan kebenaran pengetahuan, dan
tingkat-tingkat kebenaran pengetahuan.

Bagus, Loren, Kamus Filsafat, Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012.
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan
Terjemahnya, Jakarta: Al Huda, 2005.
al-Hifni, Abdul Mun'im, Mausuah al-Falsafah
wa al-Falasifah, Juz 1, Kairo; Maktabah Madbuli, 1999.
Lubis, Akhyar Yusuf, Filsafat
Ilmu; Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Mudhafir, Noeng, Filsafat Ilmu:Positivisme,
Post Positivisme dan Post Modernisme, Ed.II; Yogyakarta: Rakesarasin, 2001.
Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Filsafat,
Cet. VI; Yogyakarta;
Kanisius, 2002.
Salam, Burhanuddin, Pengantar Filsafat,
Jakarta: Bumi Aksara, 2000).
Shadr, Muhammad Baqir, Falsafatuna, Diterjemahkan
oleh M. Nur Mufid Ali, Cet. IV; Bandung: Mizan, 1994.
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di
Indonesia, Cet. V; Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010.
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar
Populer, Cet. XIII; Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000.
Susanto, A., Filsafat
Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis,
Jakarta: Bumi Aksara, 2011.
[1]Muhammad
Baqir Shadr, Falsafatuna, Diterjemahkan oleh M. Nur Mufid Ali, (Cet. IV;
Bandung: Mizan, 1994) h. 25
[4]Abdul
Mun'im al-Hifni, Mausuah al-Falsafah wa al-Falasifah, (juz 1, Kairo;
Maktabah Madbuli,
1999),
h. 19.
[6]Loren
Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002. H.
212-213.
[13]Surajiyo, Filsafat
Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Cet. V; Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), h. 102.
[14]A.Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam
Dimensi Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 85.
[16]Jujun
S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, (Cet. XIII; Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2000), h. 57.
[17]Amsal
Bakhtiar, Op.Cit., h.112.
[18]Noeng
Mudhafir, Filsafat Ilmu:Positivisme, Post Positivisme dan Post
Modernisme, (Ed.II; Yogyakarta:
Rakesarasin, 2001),
h. 20.
[24] Ibid,
h. 117.
[28]Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu; Klasik
Hingga Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014),
h. 52
[29]Ibid,
53.
izin copas gan :)
BalasHapus